Saat Saddam Husein tumbang, segera Irak mengadakan revolusi
politik dengan dukungan Amerika Serikat (AS). Pemerintahan baru didominasi
Syiah. PM baru, Mari al-Maliki, adalah penganut Syiah. Sementara Sunni makin
terdesak. Bagi Iran, pemerintahan baru Irak merupakan tanda awal kebangkitan
Syiah di Timur Tengah. Banyaknya ulama Sunni yang dieksekusi di Irak
menunjukkan revolusi politik yang didukung Iran tersebut bukan kemenangan
Islam, tapi kemenangan Syiah dengan dukungan penjajah AS.
Tampaknya, dalam kasus Irak ini, AS
lebih menyukai Irak dipimpin Syiah daripada Saddam Husein yang Sunni. Invasi AS
ke Irak tahun 2003 kabarnya direstui Iran. Sebab, Irak akan dipersiakan
dipimpin dari kaum Syiah. Tidak dipungkiri ada faksi-faksi Syiah yang menentang
AS. Hanya saja, perlawanan tidak terlalu signifikan jika dibandingkan
pejuang-pejuang Sunni. Jatuhnya Sunni Irak, menjadi keuntungan bersama antara
AS dan Iran. Iran, sejak revolusi tahun 1979, sangat berambisi mensyiahkan
Irak, sebagai pintu masuk syiahisasi di dunia Arab.
Vali Nasr menganalisis bahwa
kemengangan Syiah di Irak merupakan menambah pilar kebangkitan Syiah di Arab.
Ia menyebut ada tiga pilar kebangkitan Syiah, Pertama, kemenangan Syiah di
Irak, Kedua, pencitraan Iran sebagai pemimpin Arab melawan arus Barat dan
Ketiga, dominasi pengaruh Syiah di beberapa Negara, yaitu Lebanon, Saudi,
Kuwait, UEA dan Pakistan.
Kini, pilar pertama dan kedua sudah
ditangan Iran. Hanya pilar ketiga, Syiah belum menunjukkan kemenangan. Sekarang
inilah, Syiah sedang menggarap pilar ketiga. Pasca revolusi Iran tahun 1979,
Iran meletakkan Hizbullah di Lebanon, sebagai basis membangun pilar ketiga.
Awalnya, Hizbullah adalah sayap Garda Revolusi Iran, pasukan elit pengawal
revolusi Iran yang terkenal tangguh. Di Libanon, Hizbullah sukeses mengangkat
citra Syiah dan Iran di dunia Islam. Terutama saat tahun 80-an berhasil
membunuh seribu lebih tentara Israel.
Namun, kesuksesan Hizbullah
tercoreng karena mereka terlibat sengketa dengan Sunni Lebanon, bahkan pernah
dengan pengungsi Palestina di Lebanon. Jika benar-benar, berjuang untuk Islam,
kenapa Hizbullah berseteru dengan Sunni Lebanon? Bantuan Iran, menjadikan
Hizbullah menjadi tentara tangguh, bahkan militer pemerintah Lebanon kalah
kuat.
Geliat gerakan Syiah makin mencolok
di Timur Tengah setahun ini, yaitu saat berkecamuk perang saudara di Suriah.
Presiden Suriah, Bashar Asad, yang berpaham Syiah Nushairiyah konon mendapat
dukungan dari Iran melawan rakyatnya sendiri yang mayoritas Sunni. Syiah
Nushairiyah adalah pecahan sekte Syiah Ismailiyah, sekte Syiah yang pernah
mendirikan dinasti Fatimiyah di Mesir.
Perang saudara di Suriah yang kini
masih berkecamuk ternyata bukan hanya sengketa politik, tapi juga ideologis.
Krisis Suriah juga membangkitan kaum Syiah di Indonesia. Beberapa bulan lalu di
Bandung, Garda Kemanusiaan (GK), dikabarkan berencana mengirim relawan ke
Suriah. GK yang diindikasi berpaham Syiah berniat membantu diktator Bashar
Asad. Ini tentu mengejutkan, sebab semua aktivis Islam menyeru pengiriman
relawan kemanusiaan ke Suriah untuk membantu korabn rakyat yang sedang
didzalami Bashar Asad. GK menunukkan kepada kita bahwa memang Syiah sedang
menggeliat mempersiapkan kebangkitan.
Mencermati sikap politik Iran
terhadap krisis Suriah, kita bisa menyimpulkan bahwa Suriah sedang dipersiapkan
untuk menjadi Negara Syiah kedua di Arab setelah Irak. Meski berbeda sekte –
Suriah berpaham Syiah Nushariyah dan Iran berpaham Syiah Imamiyah, namun dua
sekte ini dikategorikan sama-sama Rafidhah. Yang terkenal ekstrim dan militant
itu.
Kondisi Suriah hampir sama dengan
Irak. Kaum Sunni terus dibantai oleh tentara Suriah. Jika Suriah dan Irak
tetapi dikendalikan Syiah, maka dua Negara ini akan menjadi ancaman besar bagi
Negara-negara Arab.
Ambisi Iran untuk menjadikan Iran
pemimpin dunia Islam sangat ambisius. Ayatullah Khomeini, pemimpin besar
revolusi Iran, sudah mentitahkan agar mengekspor revolusinya ke Negara-negar
Arab dan Islam di dunia.
Ia sadar bahwa resistensi kaum Sunni
sangat besar terhadap Syiah. Maka, Khomeini membuat strategi. Dua di antaranya
adalah mencitrakan diri sebagai icon perlawanan terhadap Israel dan Barat dan
kedua menggunakan metode taqrib (pendekatan madzhab).
Icon perlawan Khomeini terhadap
terhadap Israel dan AS masih sulit dirasionalkan. Alasannya, Ayatullah Khomeini
sendiri sebelum revolusi sebenarnya tidak terlalu resisten di Barat. Puluhan
tahun bahkan sejak remaja ia hidup di Prancis, termasuk di masa
pengasingan saat Reza Pahlevi memimpin Iran. Baru menjelang revolusi ia pulang
ke Iran. Guru Khomeini sendiri yaitu Ayatullah al-Kashani disebut-sebut
adalah agen CIA. Meski Reza Pahlevi, pro-AS, namun kabarnya CIA terlibat dalam
revolusi Iran. Selama perang Irak-Iran, Iran diam-diam membeli senjata ke
Israel dengan bantuan AS. Kasus ini terkenal dengan “Iran-Gate”.
Sebutan “AS adalah Setan Besar” dari
Iran sama sekali tidak membangkitkan AS untuk menginvasi Iran. Padahal Iran
sendiri juga menyimpan senjata Nuklir. Bandingkan dengan invasi AS ke
Afganistan dan Irak. AS cukup berbekal asumsi, tidak bukti, untuk menyerang
kedua Negara itu. Irak dituduh menyimpan senjata kimia. Belakangan tuduhan
tidak terbukti. Afganistan diserang tanpa ba bi bu dengan
tuduhan melindungi Osama bin Laden.
Ketika pecah perang Irak-Iran selama
8 tahun. Iran mendapatkan keuntungan politis. Pasca perang panjang itu, Irak
langsung dimusuhi AS. Bahkan Negara-negara Arab juga terprovokasi Barat
memusuhi Irak. Padahal Irak, paling berani melawan Israel. Beberapa rudal
Scud-nya mendarat di Tel Aviv, ibukota Israel. Kenyataannya sekarang, Iran
tidak pernah terlibat perang langsung dengan AS.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan
bahwa bantuan-bantuan Iran terhadap Negara-negara Muslim tidak gratis. Sebab di
balik bantuan tersebut mereka membawa misi Syiah. Di Palestina, HAMAS, mungkin
saja ‘terpaksa’ dibantu Iran melawan Israel. Namun, jika rasio kita
menganalisis sepak terjang gerakan politik Iran seperti di atas, maka bantuan
itu tidak gratis. Ada misi besar. Yaitu, seperti kata Vali Nasr, menarik
simpati untuk membangun imperium Syiah di Timur Tengah. Irak telah menjadi
Syiah, berikutnya siapa lagi…? Yang jelas, lembar sejarah Islam tidak pernah
lupa bahwa di Perang Salib II, Syiah berkhianat melemahkan tentara Islam. Maka,
Gaza-Palestina tidak boleh jatuh ke tangan Israel dan Syiah. Kita ingin
Gaza-Paletina di pangkuan Islam.
Oleh
: Kholili Hasib
Anggota Majelis Intelektual Dan Ulama Muda Indonesia Daerah Jawa
Timur
Sumber: Undergroundtauhid.com
Oleh : Kholili Hasib
Anggota Majelis Intelektual Dan Ulama Muda Indonesia Daerah Jawa Timur
(Arrahmah.com) - Saat
Saddam Husein tumbang, segera Irak mengadakan revolusi politik dengan
dukungan Amerika Serikat (AS). Pemerintahan baru didominasi Syiah. PM
baru, Mari al-Maliki, adalah penganut Syiah. Sementara Sunni makin
terdesak. Bagi Iran, pemerintahan baru Irak merupakan tanda awal
kebangkitan Syiah di Timur Tengah. Banyaknya ulama Sunni yang dieksekusi
di Irak menunjukkan revolusi politik yang didukung Iran tersebut bukan
kemenangan Islam, tapi kemenangan Syiah dengan dukungan penjajah AS.
Tampaknya, dalam kasus Irak ini, AS lebih menyukai Irak dipimpin
Syiah daripada Saddam Husein yang Sunni. Invasi AS ke Irak tahun 2003
kabarnya direstui Iran. Sebab, Irak akan dipersiakan dipimpin dari kaum
Syiah. Tidak dipungkiri ada faksi-faksi Syiah yang menentang AS. Hanya
saja, perlawanan tidak terlalu signifikan jika dibandingkan
pejuang-pejuang Sunni. Jatuhnya Sunni Irak, menjadi keuntungan bersama
antara AS dan Iran. Iran, sejak revolusi tahun 1979, sangat berambisi
mensyiahkan Irak, sebagai pintu masuk syiahisasi di dunia Arab.
Vali Nasr menganalisis bahwa kemengangan Syiah di Irak merupakan
menambah pilar kebangkitan Syiah di Arab. Ia menyebut ada tiga pilar
kebangkitan Syiah, Pertama, kemenangan Syiah di Irak, Kedua, pencitraan
Iran sebagai pemimpin Arab melawan arus Barat dan Ketiga, dominasi
pengaruh Syiah di beberapa Negara, yaitu Lebanon, Saudi, Kuwait, UEA dan
Pakistan.
Kini, pilar pertama dan kedua sudah ditangan Iran. Hanya pilar
ketiga, Syiah belum menunjukkan kemenangan. Sekarang inilah, Syiah
sedang menggarap pilar ketiga. Pasca revolusi Iran tahun 1979, Iran
meletakkan Hizbullah di Lebanon, sebagai basis membangun pilar ketiga.
Awalnya, Hizbullah adalah sayap Garda Revolusi Iran, pasukan elit
pengawal revolusi Iran yang terkenal tangguh. Di Libanon, Hizbullah
sukeses mengangkat citra Syiah dan Iran di dunia Islam. Terutama saat
tahun 80-an berhasil membunuh seribu lebih tentara Israel.
Namun, kesuksesan Hizbullah tercoreng karena mereka terlibat sengketa
dengan Sunni Lebanon, bahkan pernah dengan pengungsi Palestina di
Lebanon. Jika benar-benar, berjuang untuk Islam, kenapa Hizbullah
berseteru dengan Sunni Lebanon? Bantuan Iran, menjadikan Hizbullah
menjadi tentara tangguh, bahkan militer pemerintah Lebanon kalah kuat.
Geliat gerakan Syiah makin mencolok di Timur Tengah setahun ini,
yaitu saat berkecamuk perang saudara di Suriah. Presiden Suriah, Bashar
Asad, yang berpaham Syiah Nushairiyah konon mendapat dukungan dari Iran
melawan rakyatnya sendiri yang mayoritas Sunni. Syiah Nushairiyah
adalah pecahan sekte Syiah Ismailiyah, sekte Syiah yang pernah
mendirikan dinasti Fatimiyah di Mesir.
Perang saudara di Suriah yang kini masih berkecamuk ternyata bukan
hanya sengketa politik, tapi juga ideologis. Krisis Suriah juga
membangkitan kaum Syiah di Indonesia. Beberapa bulan lalu di Bandung,
Garda Kemanusiaan (GK), dikabarkan berencana mengirim relawan ke Suriah.
GK yang diindikasi berpaham Syiah berniat membantu diktator Bashar
Asad. Ini tentu mengejutkan, sebab semua aktivis Islam menyeru
pengiriman relawan kemanusiaan ke Suriah untuk membantu korabn rakyat
yang sedang didzalami Bashar Asad. GK menunukkan kepada kita bahwa
memang Syiah sedang menggeliat mempersiapkan kebangkitan.
Mencermati sikap politik Iran terhadap krisis Suriah, kita bisa
menyimpulkan bahwa Suriah sedang dipersiapkan untuk menjadi Negara Syiah
kedua di Arab setelah Irak. Meski berbeda sekte – Suriah berpaham Syiah
Nushariyah dan Iran berpaham Syiah Imamiyah, namun dua sekte ini
dikategorikan sama-sama Rafidhah. Yang terkenal ekstrim dan militant
itu.
Kondisi Suriah hampir sama dengan Irak. Kaum Sunni terus dibantai
oleh tentara Suriah. Jika Suriah dan Irak tetapi dikendalikan Syiah,
maka dua Negara ini akan menjadi ancaman besar bagi Negara-negara Arab.
Ambisi Iran untuk menjadikan Iran pemimpin dunia Islam sangat
ambisius. Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran, sudah
mentitahkan agar mengekspor revolusinya ke Negara-negar Arab dan Islam
di dunia.
Ia sadar bahwa resistensi kaum Sunni sangat besar terhadap Syiah.
Maka, Khomeini membuat strategi. Dua di antaranya adalah mencitrakan
diri sebagai icon perlawanan terhadap Israel dan Barat dan kedua
menggunakan metode
taqrib (pendekatan madzhab).
Icon perlawan Khomeini terhadap terhadap Israel dan AS masih sulit
dirasionalkan. Alasannya, Ayatullah Khomeini sendiri sebelum revolusi
sebenarnya tidak terlalu resisten di Barat. Puluhan tahun bahkan sejak
remaja ia hidup di Prancis, termasuk di masa pengasingan saat Reza
Pahlevi memimpin Iran. Baru menjelang revolusi ia pulang ke Iran. Guru
Khomeini sendiri yaitu Ayatullah al-Kashani disebut-sebut adalah agen
CIA. Meski Reza Pahlevi, pro-AS, namun kabarnya CIA terlibat dalam
revolusi Iran. Selama perang Irak-Iran, Iran diam-diam membeli senjata
ke Israel dengan bantuan AS. Kasus ini terkenal dengan “Iran-Gate”.
Sebutan “AS adalah Setan Besar” dari Iran sama sekali tidak
membangkitkan AS untuk menginvasi Iran. Padahal Iran sendiri juga
menyimpan senjata Nuklir. Bandingkan dengan invasi AS ke Afganistan dan
Irak. AS cukup berbekal asumsi, tidak bukti, untuk menyerang kedua
Negara itu. Irak dituduh menyimpan senjata kimia. Belakangan tuduhan
tidak terbukti. Afganistan diserang tanpa
ba bi bu dengan tuduhan melindungi Osama bin Laden.
Ketika pecah perang Irak-Iran selama 8 tahun. Iran mendapatkan
keuntungan politis. Pasca perang panjang itu, Irak langsung dimusuhi AS.
Bahkan Negara-negara Arab juga terprovokasi Barat memusuhi Irak.
Padahal Irak, paling berani melawan Israel. Beberapa rudal Scud-nya
mendarat di Tel Aviv, ibukota Israel. Kenyataannya sekarang, Iran tidak
pernah terlibat perang langsung dengan AS.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa bantuan-bantuan Iran terhadap
Negara-negara Muslim tidak gratis. Sebab di balik bantuan tersebut
mereka membawa misi Syiah. Di Palestina, HAMAS, mungkin saja ‘terpaksa’
dibantu Iran melawan Israel. Namun, jika rasio kita menganalisis sepak
terjang gerakan politik Iran seperti di atas, maka bantuan itu tidak
gratis. Ada misi besar. Yaitu, seperti kata Vali Nasr, menarik simpati
untuk membangun imperium Syiah di Timur Tengah. Irak telah menjadi
Syiah, berikutnya siapa lagi…? Yang jelas, lembar sejarah Islam tidak
pernah lupa bahwa di Perang Salib II, Syiah berkhianat melemahkan
tentara Islam. Maka, Gaza-Palestina tidak boleh jatuh ke tangan Israel
dan Syiah. Kita ingin Gaza-Paletina di pangkuan Islam
Sumber: Undergroundtauhid.com
(saifalbattar/
arrahmah.com)
- See more at:
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/suriah-masa-depan-gaza-dan-ancaman-kebangkitan-syiah.html#sthash.bzJUQDK3.dpuf
Oleh : Kholili Hasib
Anggota Majelis Intelektual Dan Ulama Muda Indonesia Daerah Jawa Timur
(Arrahmah.com) - Saat
Saddam Husein tumbang, segera Irak mengadakan revolusi politik dengan
dukungan Amerika Serikat (AS). Pemerintahan baru didominasi Syiah. PM
baru, Mari al-Maliki, adalah penganut Syiah. Sementara Sunni makin
terdesak. Bagi Iran, pemerintahan baru Irak merupakan tanda awal
kebangkitan Syiah di Timur Tengah. Banyaknya ulama Sunni yang dieksekusi
di Irak menunjukkan revolusi politik yang didukung Iran tersebut bukan
kemenangan Islam, tapi kemenangan Syiah dengan dukungan penjajah AS.
Tampaknya, dalam kasus Irak ini, AS lebih menyukai Irak dipimpin
Syiah daripada Saddam Husein yang Sunni. Invasi AS ke Irak tahun 2003
kabarnya direstui Iran. Sebab, Irak akan dipersiakan dipimpin dari kaum
Syiah. Tidak dipungkiri ada faksi-faksi Syiah yang menentang AS. Hanya
saja, perlawanan tidak terlalu signifikan jika dibandingkan
pejuang-pejuang Sunni. Jatuhnya Sunni Irak, menjadi keuntungan bersama
antara AS dan Iran. Iran, sejak revolusi tahun 1979, sangat berambisi
mensyiahkan Irak, sebagai pintu masuk syiahisasi di dunia Arab.
Vali Nasr menganalisis bahwa kemengangan Syiah di Irak merupakan
menambah pilar kebangkitan Syiah di Arab. Ia menyebut ada tiga pilar
kebangkitan Syiah, Pertama, kemenangan Syiah di Irak, Kedua, pencitraan
Iran sebagai pemimpin Arab melawan arus Barat dan Ketiga, dominasi
pengaruh Syiah di beberapa Negara, yaitu Lebanon, Saudi, Kuwait, UEA dan
Pakistan.
Kini, pilar pertama dan kedua sudah ditangan Iran. Hanya pilar
ketiga, Syiah belum menunjukkan kemenangan. Sekarang inilah, Syiah
sedang menggarap pilar ketiga. Pasca revolusi Iran tahun 1979, Iran
meletakkan Hizbullah di Lebanon, sebagai basis membangun pilar ketiga.
Awalnya, Hizbullah adalah sayap Garda Revolusi Iran, pasukan elit
pengawal revolusi Iran yang terkenal tangguh. Di Libanon, Hizbullah
sukeses mengangkat citra Syiah dan Iran di dunia Islam. Terutama saat
tahun 80-an berhasil membunuh seribu lebih tentara Israel.
Namun, kesuksesan Hizbullah tercoreng karena mereka terlibat sengketa
dengan Sunni Lebanon, bahkan pernah dengan pengungsi Palestina di
Lebanon. Jika benar-benar, berjuang untuk Islam, kenapa Hizbullah
berseteru dengan Sunni Lebanon? Bantuan Iran, menjadikan Hizbullah
menjadi tentara tangguh, bahkan militer pemerintah Lebanon kalah kuat.
Geliat gerakan Syiah makin mencolok di Timur Tengah setahun ini,
yaitu saat berkecamuk perang saudara di Suriah. Presiden Suriah, Bashar
Asad, yang berpaham Syiah Nushairiyah konon mendapat dukungan dari Iran
melawan rakyatnya sendiri yang mayoritas Sunni. Syiah Nushairiyah
adalah pecahan sekte Syiah Ismailiyah, sekte Syiah yang pernah
mendirikan dinasti Fatimiyah di Mesir.
Perang saudara di Suriah yang kini masih berkecamuk ternyata bukan
hanya sengketa politik, tapi juga ideologis. Krisis Suriah juga
membangkitan kaum Syiah di Indonesia. Beberapa bulan lalu di Bandung,
Garda Kemanusiaan (GK), dikabarkan berencana mengirim relawan ke Suriah.
GK yang diindikasi berpaham Syiah berniat membantu diktator Bashar
Asad. Ini tentu mengejutkan, sebab semua aktivis Islam menyeru
pengiriman relawan kemanusiaan ke Suriah untuk membantu korabn rakyat
yang sedang didzalami Bashar Asad. GK menunukkan kepada kita bahwa
memang Syiah sedang menggeliat mempersiapkan kebangkitan.
Mencermati sikap politik Iran terhadap krisis Suriah, kita bisa
menyimpulkan bahwa Suriah sedang dipersiapkan untuk menjadi Negara Syiah
kedua di Arab setelah Irak. Meski berbeda sekte – Suriah berpaham Syiah
Nushariyah dan Iran berpaham Syiah Imamiyah, namun dua sekte ini
dikategorikan sama-sama Rafidhah. Yang terkenal ekstrim dan militant
itu.
Kondisi Suriah hampir sama dengan Irak. Kaum Sunni terus dibantai
oleh tentara Suriah. Jika Suriah dan Irak tetapi dikendalikan Syiah,
maka dua Negara ini akan menjadi ancaman besar bagi Negara-negara Arab.
Ambisi Iran untuk menjadikan Iran pemimpin dunia Islam sangat
ambisius. Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran, sudah
mentitahkan agar mengekspor revolusinya ke Negara-negar Arab dan Islam
di dunia.
Ia sadar bahwa resistensi kaum Sunni sangat besar terhadap Syiah.
Maka, Khomeini membuat strategi. Dua di antaranya adalah mencitrakan
diri sebagai icon perlawanan terhadap Israel dan Barat dan kedua
menggunakan metode
taqrib (pendekatan madzhab).
Icon perlawan Khomeini terhadap terhadap Israel dan AS masih sulit
dirasionalkan. Alasannya, Ayatullah Khomeini sendiri sebelum revolusi
sebenarnya tidak terlalu resisten di Barat. Puluhan tahun bahkan sejak
remaja ia hidup di Prancis, termasuk di masa pengasingan saat Reza
Pahlevi memimpin Iran. Baru menjelang revolusi ia pulang ke Iran. Guru
Khomeini sendiri yaitu Ayatullah al-Kashani disebut-sebut adalah agen
CIA. Meski Reza Pahlevi, pro-AS, namun kabarnya CIA terlibat dalam
revolusi Iran. Selama perang Irak-Iran, Iran diam-diam membeli senjata
ke Israel dengan bantuan AS. Kasus ini terkenal dengan “Iran-Gate”.
Sebutan “AS adalah Setan Besar” dari Iran sama sekali tidak
membangkitkan AS untuk menginvasi Iran. Padahal Iran sendiri juga
menyimpan senjata Nuklir. Bandingkan dengan invasi AS ke Afganistan dan
Irak. AS cukup berbekal asumsi, tidak bukti, untuk menyerang kedua
Negara itu. Irak dituduh menyimpan senjata kimia. Belakangan tuduhan
tidak terbukti. Afganistan diserang tanpa
ba bi bu dengan tuduhan melindungi Osama bin Laden.
Ketika pecah perang Irak-Iran selama 8 tahun. Iran mendapatkan
keuntungan politis. Pasca perang panjang itu, Irak langsung dimusuhi AS.
Bahkan Negara-negara Arab juga terprovokasi Barat memusuhi Irak.
Padahal Irak, paling berani melawan Israel. Beberapa rudal Scud-nya
mendarat di Tel Aviv, ibukota Israel. Kenyataannya sekarang, Iran tidak
pernah terlibat perang langsung dengan AS.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa bantuan-bantuan Iran terhadap
Negara-negara Muslim tidak gratis. Sebab di balik bantuan tersebut
mereka membawa misi Syiah. Di Palestina, HAMAS, mungkin saja ‘terpaksa’
dibantu Iran melawan Israel. Namun, jika rasio kita menganalisis sepak
terjang gerakan politik Iran seperti di atas, maka bantuan itu tidak
gratis. Ada misi besar. Yaitu, seperti kata Vali Nasr, menarik simpati
untuk membangun imperium Syiah di Timur Tengah. Irak telah menjadi
Syiah, berikutnya siapa lagi…? Yang jelas, lembar sejarah Islam tidak
pernah lupa bahwa di Perang Salib II, Syiah berkhianat melemahkan
tentara Islam. Maka, Gaza-Palestina tidak boleh jatuh ke tangan Israel
dan Syiah. Kita ingin Gaza-Paletina di pangkuan Islam
Sumber: Undergroundtauhid.com
(saifalbattar/
arrahmah.com)
- See more at:
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/suriah-masa-depan-gaza-dan-ancaman-kebangkitan-syiah.html#sthash.bzJUQDK3.dpuf
Oleh : Kholili Hasib
Anggota Majelis Intelektual Dan Ulama Muda Indonesia Daerah Jawa Timur
(Arrahmah.com) - Saat
Saddam Husein tumbang, segera Irak mengadakan revolusi politik dengan
dukungan Amerika Serikat (AS). Pemerintahan baru didominasi Syiah. PM
baru, Mari al-Maliki, adalah penganut Syiah. Sementara Sunni makin
terdesak. Bagi Iran, pemerintahan baru Irak merupakan tanda awal
kebangkitan Syiah di Timur Tengah. Banyaknya ulama Sunni yang dieksekusi
di Irak menunjukkan revolusi politik yang didukung Iran tersebut bukan
kemenangan Islam, tapi kemenangan Syiah dengan dukungan penjajah AS.
Tampaknya, dalam kasus Irak ini, AS lebih menyukai Irak dipimpin
Syiah daripada Saddam Husein yang Sunni. Invasi AS ke Irak tahun 2003
kabarnya direstui Iran. Sebab, Irak akan dipersiakan dipimpin dari kaum
Syiah. Tidak dipungkiri ada faksi-faksi Syiah yang menentang AS. Hanya
saja, perlawanan tidak terlalu signifikan jika dibandingkan
pejuang-pejuang Sunni. Jatuhnya Sunni Irak, menjadi keuntungan bersama
antara AS dan Iran. Iran, sejak revolusi tahun 1979, sangat berambisi
mensyiahkan Irak, sebagai pintu masuk syiahisasi di dunia Arab.
Vali Nasr menganalisis bahwa kemengangan Syiah di Irak merupakan
menambah pilar kebangkitan Syiah di Arab. Ia menyebut ada tiga pilar
kebangkitan Syiah, Pertama, kemenangan Syiah di Irak, Kedua, pencitraan
Iran sebagai pemimpin Arab melawan arus Barat dan Ketiga, dominasi
pengaruh Syiah di beberapa Negara, yaitu Lebanon, Saudi, Kuwait, UEA dan
Pakistan.
Kini, pilar pertama dan kedua sudah ditangan Iran. Hanya pilar
ketiga, Syiah belum menunjukkan kemenangan. Sekarang inilah, Syiah
sedang menggarap pilar ketiga. Pasca revolusi Iran tahun 1979, Iran
meletakkan Hizbullah di Lebanon, sebagai basis membangun pilar ketiga.
Awalnya, Hizbullah adalah sayap Garda Revolusi Iran, pasukan elit
pengawal revolusi Iran yang terkenal tangguh. Di Libanon, Hizbullah
sukeses mengangkat citra Syiah dan Iran di dunia Islam. Terutama saat
tahun 80-an berhasil membunuh seribu lebih tentara Israel.
Namun, kesuksesan Hizbullah tercoreng karena mereka terlibat sengketa
dengan Sunni Lebanon, bahkan pernah dengan pengungsi Palestina di
Lebanon. Jika benar-benar, berjuang untuk Islam, kenapa Hizbullah
berseteru dengan Sunni Lebanon? Bantuan Iran, menjadikan Hizbullah
menjadi tentara tangguh, bahkan militer pemerintah Lebanon kalah kuat.
Geliat gerakan Syiah makin mencolok di Timur Tengah setahun ini,
yaitu saat berkecamuk perang saudara di Suriah. Presiden Suriah, Bashar
Asad, yang berpaham Syiah Nushairiyah konon mendapat dukungan dari Iran
melawan rakyatnya sendiri yang mayoritas Sunni. Syiah Nushairiyah
adalah pecahan sekte Syiah Ismailiyah, sekte Syiah yang pernah
mendirikan dinasti Fatimiyah di Mesir.
Perang saudara di Suriah yang kini masih berkecamuk ternyata bukan
hanya sengketa politik, tapi juga ideologis. Krisis Suriah juga
membangkitan kaum Syiah di Indonesia. Beberapa bulan lalu di Bandung,
Garda Kemanusiaan (GK), dikabarkan berencana mengirim relawan ke Suriah.
GK yang diindikasi berpaham Syiah berniat membantu diktator Bashar
Asad. Ini tentu mengejutkan, sebab semua aktivis Islam menyeru
pengiriman relawan kemanusiaan ke Suriah untuk membantu korabn rakyat
yang sedang didzalami Bashar Asad. GK menunukkan kepada kita bahwa
memang Syiah sedang menggeliat mempersiapkan kebangkitan.
Mencermati sikap politik Iran terhadap krisis Suriah, kita bisa
menyimpulkan bahwa Suriah sedang dipersiapkan untuk menjadi Negara Syiah
kedua di Arab setelah Irak. Meski berbeda sekte – Suriah berpaham Syiah
Nushariyah dan Iran berpaham Syiah Imamiyah, namun dua sekte ini
dikategorikan sama-sama Rafidhah. Yang terkenal ekstrim dan militant
itu.
Kondisi Suriah hampir sama dengan Irak. Kaum Sunni terus dibantai
oleh tentara Suriah. Jika Suriah dan Irak tetapi dikendalikan Syiah,
maka dua Negara ini akan menjadi ancaman besar bagi Negara-negara Arab.
Ambisi Iran untuk menjadikan Iran pemimpin dunia Islam sangat
ambisius. Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran, sudah
mentitahkan agar mengekspor revolusinya ke Negara-negar Arab dan Islam
di dunia.
Ia sadar bahwa resistensi kaum Sunni sangat besar terhadap Syiah.
Maka, Khomeini membuat strategi. Dua di antaranya adalah mencitrakan
diri sebagai icon perlawanan terhadap Israel dan Barat dan kedua
menggunakan metode
taqrib (pendekatan madzhab).
Icon perlawan Khomeini terhadap terhadap Israel dan AS masih sulit
dirasionalkan. Alasannya, Ayatullah Khomeini sendiri sebelum revolusi
sebenarnya tidak terlalu resisten di Barat. Puluhan tahun bahkan sejak
remaja ia hidup di Prancis, termasuk di masa pengasingan saat Reza
Pahlevi memimpin Iran. Baru menjelang revolusi ia pulang ke Iran. Guru
Khomeini sendiri yaitu Ayatullah al-Kashani disebut-sebut adalah agen
CIA. Meski Reza Pahlevi, pro-AS, namun kabarnya CIA terlibat dalam
revolusi Iran. Selama perang Irak-Iran, Iran diam-diam membeli senjata
ke Israel dengan bantuan AS. Kasus ini terkenal dengan “Iran-Gate”.
Sebutan “AS adalah Setan Besar” dari Iran sama sekali tidak
membangkitkan AS untuk menginvasi Iran. Padahal Iran sendiri juga
menyimpan senjata Nuklir. Bandingkan dengan invasi AS ke Afganistan dan
Irak. AS cukup berbekal asumsi, tidak bukti, untuk menyerang kedua
Negara itu. Irak dituduh menyimpan senjata kimia. Belakangan tuduhan
tidak terbukti. Afganistan diserang tanpa
ba bi bu dengan tuduhan melindungi Osama bin Laden.
Ketika pecah perang Irak-Iran selama 8 tahun. Iran mendapatkan
keuntungan politis. Pasca perang panjang itu, Irak langsung dimusuhi AS.
Bahkan Negara-negara Arab juga terprovokasi Barat memusuhi Irak.
Padahal Irak, paling berani melawan Israel. Beberapa rudal Scud-nya
mendarat di Tel Aviv, ibukota Israel. Kenyataannya sekarang, Iran tidak
pernah terlibat perang langsung dengan AS.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa bantuan-bantuan Iran terhadap
Negara-negara Muslim tidak gratis. Sebab di balik bantuan tersebut
mereka membawa misi Syiah. Di Palestina, HAMAS, mungkin saja ‘terpaksa’
dibantu Iran melawan Israel. Namun, jika rasio kita menganalisis sepak
terjang gerakan politik Iran seperti di atas, maka bantuan itu tidak
gratis. Ada misi besar. Yaitu, seperti kata Vali Nasr, menarik simpati
untuk membangun imperium Syiah di Timur Tengah. Irak telah menjadi
Syiah, berikutnya siapa lagi…? Yang jelas, lembar sejarah Islam tidak
pernah lupa bahwa di Perang Salib II, Syiah berkhianat melemahkan
tentara Islam. Maka, Gaza-Palestina tidak boleh jatuh ke tangan Israel
dan Syiah. Kita ingin Gaza-Paletina di pangkuan Islam
Sumber: Undergroundtauhid.com
(saifalbattar/
arrahmah.com)
- See more at:
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/suriah-masa-depan-gaza-dan-ancaman-kebangkitan-syiah.html#sthash.bzJUQDK3.dpuf