Selasa, 23 Oktober 2012

Revolusi Suriah; Rintangan dan Masa Depan

Fenomena Arab Spring yang melanda hampir seluruh wilayah dunia Arab di sepanjang tahun 2011, barangkali mencapai puncaknya di Suriah. Sebelas bulan perjalanan revolusi rakyat menuntut kebebasan dan demokratisasi belum juga menuai hasil. 

Demonstrasi massa yang terjadi di berbagai kota besar Suriah belum juga mampu memaksa Basyar Asad untuk meninggalkan kursi presiden. Sebaliknya, Ia bersikeras untuk tidak turun dan menggunakan segala cara guna menggagalkan revolusi tersebut, meskipun dengan jalur kekerasan.
Sementara itu, negara-negara tetangga semisal Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman telah berhasil menggulingkan rezim berkuasa di wilayah masing-masing. Negara-negara tersebut kini mulai merealisasikan berbagai tujuan dan impian besar revolusi. Lantas, bagaimana dengan revolusi Suriah?

Mengenal Suriah

Suriah yang kita kenal sekarang merupakan sebutan untuk sebuah negara di wilayah Syam yang saat ini dipimpin oleh Basyar Asad. Nama resminya, Republik Arab Suriah (al-Jumhûriyyah al-Arabiyyah as-Sûriah). Secara geografis, Suriah berbatasan dengan Turki di sebelah utara, Palestina dan Yordania di sebelah selatan, Lebanon dan Laut Tengah di barat dan Irak di sebelah timur. Bisa dibilang bahwa Suriah merupakan wilayah yang menjadi penghubung antara dua benua, Asia dan Afrika.
Sebelumnya, Suriah merupakan bagian dari Daulah Utsmaniyah. Suriah memisahkan diri pada 1 September 1918 pasca Revolusi Besar Arab-yang mendapat dukungan dari Inggris dan Syarief Husein-pada tahun 1916 yang menuntut pemisahan dari Daulah Utsmaniyah.

Pada tahun 1920, Suriah dipaksa untuk menerima hasil konferensi San Remo yang memberikan mandat kepada Perancis atas wilayah Suriah hingga 17 April 1946. Selama masa mandat Perancis, wilayah Suriah semakin menyempit. Sebagian wilayah utara diserahkan kepada Turki, sedangkan di selatan berdiri Yordania, Lebanon dan Palestina. Pada masa itu pula, Republik Arab Suriah berdiri.
Semangat pan-Arabisme yang digagas oleh Gamal Abdul Naseer mendorong Suriah pada 1958 untuk melebur dalam Republik Arab Bersatu dengan Kairo sebagai Ibukota. Namun, hal itu hanya bertahan hingga tahun 1961, akibat kudeta militer yang dipimpin oleh Abdul Karim Nahlawy.

Pasca kudeta militer, peta perpolitikan Suriah dikuasai oleh Partai Sosialis Ba’ats (Hizb al-Ba’ats al-Isytirâki) yang mayoritas anggotanya dari golongan Syiah Alawiyah. Hingga saat ini, atau selama hampir 49 tahun, partai ini terus memegang pemerintahan di Suriah. Dengan berkoalisi dengan pihak militer, Partai Sosialis Ba’ats melakukan segala usaha untuk melanggengkan kekuasaan mereka di Suriah. Mereka memperbesar kekuatan militer dan pihak keamanan, membuat perundang-undangan yang membatasi bahkan mencegah kemunculan gerakan-gerakan oposisi, termasuk kekuatan kelompok Sunni, dengan Ikhwanul Muslimin sebagai pemeran utamanya. Dengan cara kediktatoran inilah, rezim partai di bawah kepemimpinan Hafez Asad, lalu kemudian putranya, Basyar Asad bisa bertahan.

Revolusi Suriah

Gelombang revolusi Suriah bermula pada 15 Maret 2011, setelah para aktivis Suriah melalui situs jejaring sosial menyeru rakyat untuk ikut dalam aksi protes yang mereka sebut dengan “Hari Kemarahan Suriah” pada hari tersebut. Lalu, aksi protes berkembang, setelah pihak oposisi menyeru rakyat untuk menjatuhkan rezim Asad.

Tiga hari kemudian, demonstrasi massa meluas ke beberapa tempat di luar ibukota. Satu minggu setelahnya, pada hari yang mereka sebut sebagai “Hari Kejayaan”, rakyat Suriah menggelar demonstrasi massa di tujuh propinsi dari 14 propinsi yang ada di Suriah.
Perkembangan demonstrasi rakyat yang begitu cepat dan mulai mengancam posisi Presiden Asad memaksanya untuk berpidato di depan parlemen pada 31 Maret. Ia berusaha menenangkan kemarahan rakyat dengan berjanji akan mengagendakan reformasi politik Suriah. Asad juga membentuk pemerintahan baru, yang ternyata tidak jauh berbeda dengan komposisi pemerintahan sebelumnya. Selain itu, Asad berjanji akan segera mengusut segala pihak yang terbukti melakukan kekerasan terhadap para demonstran.
Segala siasat damai yang dilakukan Asad untuk meraih hati rakyat sebagaimana yang dilakukan para pemimpin Mesir, Libya dan Tunisia, untuk menghentikan gelombang revolusi ternyata tidak membuahkan hasil. Keberhasilan revolusi Tunisia dan Mesir juga membuat para demonstran semakin percaya diri dan yakin akan keberhasilan revolusi Suriah.

Asad pun menerapkan strategi baru. Di akhir bulan April, Militer Suriah mulai memberikan tekanan kepada para demonstran, sehingga korban yang berjatuhan meningkat secara signifikan. Awal Juni, pihak militer Suriah menembaki para demonstran di kota Hamah hingga menewaskan puluhan orang. Tindak kekerasan semacam itu masih terus berlangsung hingga hari ini, termasuk serangan bom yang dilancarkan di wilayah Khalidiya, propinsi Homs awal Februari lalu.
Kekejaman yang dilakukan rezim Asad dan pelanggaran atas hak asasi manusia, membuat dunia internasional menyatakan sikap. Pada pertengahan Agustus, Amerika Serikat (AS), Perancis, Inggris, Uni Eropa dan Kanada menyatakan bahwa rezim Suriah tidak lagi sah. Mereka juga menyeru Asad untuk segera meletakkan jabatan.

Sikap negara-negara Barat akan rezim Asad, akhirnya mendorong para pejuang revolusi untuk membentuk Dewan Nasional Suriah, sebagai pemersatu pihak oposisi Suriah. Organisasi ini mencakup semua golongan oposisi, termasuk Ikhwanul Muslimin sebagai oposisi terkuat saat ini. Pada bulan yang sama, Riyadh al-Asad yang sebelumnya menjabat sebagai Kolonel angkatan udara Suriah mengumumkan berdirinya Tentara Kebebasan (al-Jaisy al-Hurr) guna melindungi para demonstran.

Reaksi internasional berlanjut, dengan agenda resolusi Dewan Keamanan PBB. Namun, seperti telah diprediksikan, Rusia dan China menggagalkan rencana tersebut dengan menggunakan hak veto mereka.
Liga Arab pun tidak tinggal diam. Organisasi regional Arab ini mengutus para pengamatnya ke Suriah. Mereka kemudian menawarkan protokol pengamat Arab yang menjadi bagian dari resolusi Liga Arab. Pada mulanya Suriah bersedia menandatangani protokol tersebut. Akan tetapi, ketika protokol berikutnya menyeru agar Asad menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, guna mengamankan agenda transisi damai, Asad menolak tawaran tersebut. Para pengamat Liga Arab pun akhirnya keluar, dan diganti dengan pengutusan pasukan penjaga keamanan.

Segala usaha terus dilakukan Asad untuk menggagalkan revolusi. Terakhir, pada awal Februari, rezim Asad melancarkan serangan bom di wilayah Khalidiya, propinsi Homs. Serangan tersebut disusul dengan berbagai operasi militer di berbagai daerah dan merupakan operasi paling kejam selama masa revolusi. Hampir seribu orang meninggal dalam jangka hanya dua minggu.

Rintangan dan Hambatannya

Perjalanan panjang revolusi Suriah yang sudah berlangsung selama 11 bulan, mengindikasikan bahwa rezim Asad tidak mampu membendung dan menghentikan gelombang revolusi, meskipun berbagai macam cara telah mereka tempuh. Di sisi lain, para pejuang revolusi sampai saat ini belum juga mampu menjatuhkan rezim Asad yang semakin gencar melemahkan kekuatan mereka.

Hingga hari ini, Majelis Nasional Suriah sebagai organisasi pejuang revolusi masih dihadang banyak hambatan dan tantangan, baik dalam tataran nasional, regional hingga internasional.

Di dalam negeri, rezim Asad terus melancarkan serangan dan kekerasan kepada para demonstran. Dengan sekuat tenaga, ditambah dukungan Iran, China dan Rusia, rezim Asad berusaha menggagalkan segala bentuk demonstrasi aksi protes rakyat.

Selain itu, Asad berusaha mendekati kelompok-kelompok minoritas Suriah, seperti umat Kristen, Alawy dan Ismailiyyah yang berjumlah hampir 30 % dari jumlah penduduk. Jumlah yang cukup besar ini tentunya sangat berpengaruh terhadap revolusi. Dengan mencegah keterlibatan mereka dalam revolusi, Asad ingin menciptakan opini publik bahwa apa yang terjadi sekarang di Suriah bukanlah revolusi rakyat, melainkan sebuah gerakan separatis golongan tertentu. Yaitu gerakan separatis Sunni melawan Syiah yang kini menguasai pemerintahan. Oleh karenanya, Asad menakut-nakuti mereka dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan menimpa mereka bila kelompok Sunni memegang kekuasaan di Suriah.

Para pengamat politik memandang bahwa Suriah merupakan salah satu basis Syiah bersama Iran dan Irak di bawah pemerintahan Alwi al-Maliki. Dengan letak geostrategis yang dimiliki Suriah, ditambah kesamaan ideologi dengan negara-negara tetangga menjadikan kejatuhan rezim Suriah akan berakibat fatal negara-negara basis Syiah tersebut, dan ditambah dengan Hizbullah di Lebanon.

Maka, Iran mendukung penuh langkah rezim Asad untuk mempertahankan kekuasaannya. Bahkan salah satu anggota Majelis Ahli Iran, Ahmad Jannati dalam khutbah Jum’at kemarin (24/02) di Teheran menyeru umat Syiah Arab untuk memasuki Suriah dan Berjihad bersama pihak Asad.

Sementara itu, Israel yang merupakan sekutu AS, dan berbatasan langsung dengan Suriah sangat menginginkan konflik internal Suriah terus berlangsung. Dengan demikian, Suriah akan disibukkan dengan permasalahannya daripada konflik berkepanjangan mereka dengan Israel. Pada waktu yang sama, konflik internal Suriah akan melumpuhkan perekonomian dan militer Suriah, bahkan perekonomian Iran yang banyak memberikan bantuan kepada Suriah.

Senada dengan Israel, AS sejatinya tidak menginginkan Suriah menjadi sebuah negara demokrasi. Meski pada awalnya, AS tampak mendukung revolusi rakyat Suriah, namun sejatinya AS hanya ingin memanfaatkan momentum tersebut sebagai jalan untuk mempertahankan kepentingannya di kawasan, dan mengepung Iran setelah tentara mereka angkat kaki dari Irak. AS melihat, bahwa berdirinya Suriah sebagai sebuah negara demokrasi akan mengancam kepentingan AS di kawasan. Politik Suriah yang demokratis akan menjadi cerminan keinginan rakyat, yang sewaktu-waktu bisa mengancam eksistensi sekutunya, Israel.
Sementara itu, Rusia dan China yang tidak ingin kepentingan mereka di Suriah terganggu. Suriah sangat berarti bagi Rusia. Di kota Latakia dan Tartus, Rusia menempatkan basis angkatan laut mereka. Letak geografis Suriah cukup dekat dengan Rusia, sekaligus bersandingan dengan Turki sebagai salah satu anggota NATO. Rusia tentu tidak menginginkan hegemoni Eropa-AS di kawasan Timur Tengah semakin besar. Rusia juga tidak ingin skenario Libya terulang untuk kedua kalinya.

Demikian juga dengan China yang merupakan menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar setelah AS. China tidak ingin pasokan minyak Suriah ke negaranya terganggu, serta hubungan dagang antara kedua negara.

Masa Depan Revolusi

Berbagai hambatan dan rintangan di atas tentunya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan revolusi Suriah ke depan. Kemampuan Majelis Nasional untuk menggandeng pihak minoritas ke dalam basis revolusi, keberhasilan dalam menghapus ketakutan-ketakutan mereka, dan upaya diplomasi untuk meyakinkan dunia bahwa kepentingan mereka akan terjamin, menjadi titik tolak utama keberhasilan revolusi. Bila rakyat Suriah bersatu untuk mensukseskan revolusi mereka, niscaya rezim Asad tidak akan mampu bertahan lama dalam kekuasaan.

Kemampuan Majelis Nasional untuk menguasai media, juga sangat penting untuk menciptakan opini masyarakat, dan memberikan berita yang berimbang tentang apa yang dilakukan oleh rezim Asad terhadap revolusi rakyat Suriah.

Di sisi lain, intervensi asing dalam permasalahan internal Suriah bagaimanapun juga tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana hal itu tidak diinginkan oleh rakyat Suriah. Sejak Majelis Nasional Suriah berdiri, mereka menolak segala intervensi asing, termasuk bantuan militer dan serangan kepada rezim Asad. Bagi rakyat Suriah, intervensi asing justru mendatangkan lebih banyak kerugian bagi mereka. Wallahu A’lam. (hafid/hdn)

Revolusi Suriah Hadapi Konspirasi Internasional


Pemuda-pemuda itu sedang pada puncak pekikannya menuntut persamaan hak, persamaan dengan pemuda-pemuda di Negara tetangganya, Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman, mereka ingin menghirup nafas demokrasi, lepas dari belenggu kekangan tirani. 

Pertarungan gagah, jarang tandingannya dalam sejarah umat manusia, bahkan mungkin juga satu-satunya perang-damai, laki, perempuan dan anak, semuanya keluar maju meneriakkan kebebasan mereka yang dirampas oleh penguasa diktator. Mereka bersedia mengorbankan hartanya yang paling berharga, jiwanya, nyawanya, untuk hanya tak tunduk pada kedzaliman dan tangan besi diktator.

Rakyat Suriah telah bertempur selama kurang lebih 235 hari, sejak tanggal 15 Maret hingga detik ini mereka berhadapan dengan moncong senjata api dan tank-tank, mereka juga belum jatuh mempertahankan kebebasan, kehormatan, dan keadilan mereka. Ya mereka hanya bersenjatakan suara-suara mereka yang menjadi peluru menembus dan menumbangkan dinding ketakutan, ketakutan mereka sendiri. Dan bukan ketakutan pada tangan-tangan kotor berlumuran darah itu.

Dua ratus lima puluhan anak-anak telah menyumbangkan nyawa mereka yang masih belia, untuk dikenang oleh jutaan genarasi pelanjutnya. Mereka telah pintar mengukir kegemilangan dengan darah. Pelajaran bagi tiap bangsa pejuang.

Lebih mengherankan di balik tragedi kemanusiaan ini, lembaga militer yang sejatinya melindungi Negara dan penduduk sipil dari berbagai ancaman yang datang dari luar, ternyata malah menjadi pembela pembunuh rakyatnya dan membunuh rakyatnya sendiri dengan tank-tank dan senjata mereka. Kebrutalan dan kekejaman Basyar Asad ini juga ditopang oleh angkatan bersenjata dan partai berkuasa di Suriah. Ini yang pertama yang menjadi titik tolak perhatian kita, sebelum membahas tarik ulur kepentingan dunia internasional di balik keterlambatan revolusi Suriah membuahkan hasil, khususnya kepentingan strategis Barat Amerika, Israel dan Iran.

Lembaga-lembaga Diktator

Partai Sosialis Baats dan Angkatan Bersenjata Suriah
Hizbul Baats Al-Isytiraki atau Partai Sosialis Baats adalah partai yang telah berkuasa kurang lebih 48 tahun sejak tahun 1963, kepemimpinan Partai Baats bisa dibagi menjadi dua fase; fase antara tahun 1963 sampai 1970, yaitu fase berkuasanya Dewan Militer Suriah melalui Partai Baats. Fase kedua; fase dari tahun 1970 sampai kini, yaitu fase berkuasanya Hafez Asad dan anaknya Basyar Asad.

Angkatan Bersenjata Suriah
Sejak pertama meledaknya Revolusi Suriah, Angkatan Bersenjata Suriah telah diterjungkan ke kampung-kampung dan kota-kota Suriah. Dengan segala kebrutalannya, militer Suriah mempertontongkan kehebatannya menembaki para demonstran damai, dengan segala peralatan perangnya, militer Suriah menyerbu dan menguasai kota-kota dan kampung-kampung Suriah. Senjata-senjata yang selayaknya diarahkan ke wajah Zionis Israel yang menguasai dataran tinggi Golan itu, kini moncong senjata itu diarahkan ke dada rakyatnya sendiri. Genangan darah basahi bumi Syam, tangisan anak-anak kehilangan orang tua, tubuh-tubuh bergelimpangan di jalan-jalan kota dan kampung Suriah, rumah-rumah penduduk sipil yang hancur, masjid-masjid dan menaranya yang diruntuhkan. Semuanya menjadi pemandangan sehari-hari sejak awal meledaknya aksi damai rakyat Suriah hingga saat ini.

Memori tragedi kemanusiaan rakyat Suriah kembali terulang, tragedi kemanusiaan 29 tahun silam yang merengguk sekitar tiga puluh ribu nyawa rakyat Suriah di Humat yang dilakukan oleh rezim berkuasa Hafez Asad,  kini tragedy kemanusiaan itu kembali dipertontongkan dan dilanjutkan oleh anaknya, Basyar Asad, benarlah pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Anak dan bapak sama saja brutalnya, sama-sama berjiwa singa, berbadan manusia, memangsa rakyat sendiri.

Seorang kolumnis Suriah Dr. Abdullah Al-Hariry meledakkan kemarahannya dalam tulisannya dengan mengutuk lembaga militer yang dianggapnya telah menghianati rakyat Suriah, menghianati bangsa dan negaranya, bahkan menghianati diri sendiri, beliau menyebutkan bukti-bukti penghianatan militer Suriah. Kita sebutkan bebarap penghianatan yang disebutkan oleh Dr. Abdullah, sebagai berikut;

1. Penghianatan pertama adalah penghianatan kepada Palestina dan para mujahid yang ada di Palestina, dengan mencegah bantuan militer yang dikirim dari komite Arab, dan mengingkari bantuan-bantuan tersebut sampai kepada mereka, bantuan-bantuan tersebut berupa depot amunisi, dan ketika Abdul Qadir Al-Husaini memimpin perang Al-Quds dan menguasai benten Qastel, namun hari berikutnya kalah, karena kehabisan amunisi dan peralatan perang.

2. Penghancuran perkemahan Palestina di Libanon (Tel Azur, Al-Badawy, Al-Barid dan Al-Miyah-miyah, dan mengalirkan darah Palestina dan darah Libanon.

3. Menghancurkan kota Humat tahun 1982 dan membunuh hampir 30 ribu orang.

4. Dan hari ini, mereka tak menyisakan kota dan menara masjid di Suriah, kecuali dikuasainya dan dibomnya dan mengusir penduduknya seperti yang baru baru terjadi Raston

5. Lebih dari itu, mereka mengangkat motto-motto ateis, dan keluar dari aqidah umat, seperti: “Aku beriman kepada Baats sebagai Tuhan tiada sekutu bagi-nya, dan Arab sebagai agama tiada duanya”. Dan mereka menulis di dinding-dinding masjid (jatuhlah Tuhanmu dan Basyar tak jatuh), (Wahai Allah biarlah-biarlah, Basyar menggantikan posisi-Mu).

Begitulah kondisi militer yang tak memiliki agama, tak berakhlak, tak memiliki perasaan, tak memiliki hati nurani! Tentara yang tak memiliki segala kehormatan, kemuliaan dan kepahlawanan! Tentara yang membunuh anak-anak kecil dan tak selamat darinya orang-orang tua dan bapak-bapak, bahkan tak selamat dari wanita-wanita, pun dibunuhnya. Militer yang hanya tahu sasaran pelurunya kepada rakyatnya yang muslim dan menara-menara masjid, dan menjaga Israel dan antek-anteknya.

Perbandingan Singkat Skenario Libya dan Suriah
Mayoritas jabatan-jabatan penting di tubuh angkatan bersenjata Suriah semuanya diduduki oleh kelompok Alawiyin, kelompok minoritas yang berpaham Syiah dan menuhankan Ali r.a. dan Asad sendiri berafiliasi ke kelompok ini, ini pula yang menjadi rahasia di balik dukungan militer Suriah ke Basyar Asad. Hingga hampir boleh dikata bahwa tidak ada petinggi militer yang membelok atau menantang kebijakan Basyar Asad. Sementara untuk tingkat prajurit adalah mayoritas Sunni, prajurit kecil inilah yang kemudian menyatakan diri bergabung ke barisan revolusi rakyat Suriah dan mendirikan perkumpulan yang bernama Tentara Suriah Yang Bebas [Jaisyu As-Suri Al-Hurr]. Inilah yang membedakan scenario di Libya dengan scenario di Suriah, di Libya, angkatan bersenjata hampir secara keseluruhan membangkan dari Khaddafi, termasuk para petinggi militer, bahkan Abdurrahman Yunus yang menjadi pemimpin militer revolusi Libya termasuk salah satu teman seperjuangan Khaddafi di awal revolusi tahun 1969, revolusi yang berhasil mengantarkan Khaddafi ke singgasana kekuasaan.  Kalau di Libya yang membangkan adalah petinggi militer dan prajurit di bawahnya beserta peralatan perangnya, maka di Suriah, mereka yang membangkan adalah prajurit-prajuri kelas teri dengan senjata seadanya.

Inilah juga yang menjadi alasan para revolusioner Suriah sejak awal telah menempuh jalur damai (silmiyah), dan kecil kemungkinan secara keseluruhan atau menjadi kesepakatan revolusi Suriah untuk menempuh jalur bersenjata. Pertempuran- saling tembak yang saat ini terjadi di Suriah adalah perlawanan-perlawanan kecil dari militer yang bergabung dalam revolusi, mereka mempertahankan diri dan melindungi rakyat sipil. Karena peralatannya yang terbatas serta jumlah persenil yang terbatas, maka tidak mungkin scenario Libya terjadi di Suriah, kecuali setelah operasi Nato di Libya selesai kemudian mengkonsentrasikan diri untuk kembali mencari mangsa dan menduduki Negara lain, dengan berbagai alasan yang memungkinkannya untuk bisa masuk mengintervensi Suriah. Tapi ini juga kecil kemungkinan [hal ini akan kita bahas di bagian terakhir, kenapa tidak ada intervensi asing di Suriah], karena mayoritas rakyat Suriah sendiri menolak dengan keras adanya intervensi militer asing ke negaranya, walau keberhasilan revolusi Libya menumbangkan dictator Khadafi dengan revolusi bersenjata, namun ini juga meminta tumbal yang terlalu mahal, jumlah korban tewas di Libya selama terjadinya revolusi, sekurang-kurang menurut Musthafa Abdul Jalil beberapa bulan lalu sekitar 25.000 orang, dan ini yang tidak diinginkan oleh revolusi Suriah.

Fase kedua; Hafez Asad dan Basyar Asad
Tahun 1963 Hafez Asad mulai berkuasa hingga tahun 2000, menjelang Hafez Asad meninggal, dipanggillah sang dokter yang sedang belajar di Perancis untuk kembali ke Suriah menggantikan bapaknya, undang-undang pun harus dirombak untuk meloloskan Basyar Asad yang belum cukup umur untuk menduduki jabatan presiden. Dengan membohongi rakyat dan negaranya dengan mempermainkan undang-undang,  Basyar Asad pun naik ke kursi kepresidenan sejak tahun 2001.
Kepemimpinan bapak dan anak ini banyak disifati oleh para pengamat, dengan karakteristik kepimimpinan diktator, korup, rasisme, anarkis, dan terkenal memusuhi agama.

Kekerasan adalah sifat dasar kepemimpinan Partai Baats di masa Hafez dan Basyar kepada masyarakat Suriah. kepada berbagai kelompok; pada tahun 1963 orang Nasyiriyin, tahun 1964  kekerasan dialami oleh orang-orang Islam, tahun 1965 pemboman masjid dan menguasai masjid di Homs dan Damaskus, tahun 1966 kekerasan dialami oleh kelompok Druze, kemudian penghancuran Humat tahun 1982 yang menelan korban 30.000 rakyat Suriah, dan kini mereka kembali mengulang kekerasan, penindasan kepada rakyat Suriah.

Partai Baats sejak lima puluh tahun lalu bukan hanya tak beragama tapi juga melakukan kekerasan kepada agama dan kaum beragama, dan berusaha mencabut agama dari hidup rakyat Suriah, dan menganggapnya sebagai mitos, ilusi dan keburukan. Bahkan menjadikan beberapa syiar dan ucapan-ucapan yang memusuhi agama dengan cara yang sangat jelas, seperti: “Aku beriman kepada Baats sebagai Tuhan tiada sekutu baginya, dan Arab sebagai agama tiada duanya”.

Partai Baats juga mempraktekkan prilaku rasisme kepada suku suku lain, utama suku kurdi, menekan kurdi, dan mengusirnya dari kampung-kampung mereka. dan terakhir terbunuhnya salah serong tokoh oposisi Kurdi Massal Tammo [8/10/2011].

Hubungan Strategis Iran dan Suriah
Hubungan strategis dua Negara ini telah terjalin lama. Sejak keberhasilan revolusi Iran 1979, dengan simbol-simbol revolusinya yang menjadi momok ketakutan Barat dan Amerika, di mana Iran menganggap Amerika Serikat sebagai syetan besar (As-syaithan Al-Akbar) dan menganggap Zionis Israel sebagai kelenjer kanker yang mesti dimusnahkan dan dilenyapkan dari peta dunia, satu sisi. Di sisi lain Suriah melihat peran AS mulai mulai menghegomoni di kawasan lebih khusus di Libanon, dengan keberadaan militer AS, ini yang dianggap berbahaya oleh Suriah. Hingga bahasa-bahasa yang digunakan oleh Suriah terhadap AS tidak jauh bedanya dengan Iran, bahasa-bahasa anti Amerika dan permusuhan terhadap Barat. Iran juga melihat Suriah sangat strategis di kawasan Timur Tengah, baik secara geografis, juga secara militer Suriah cukup diperhitungkan.

Penyebab Dukungan Iran Kepada Damaskus
Kebrutalan militer dan rezim Suriah menghadapi gelombang protes rakyatnya yang menuntut kebebasan, ternyata disikapi beda oleh Iran. Iran tanpa malu mendukung aksi kebrutalan tersebut, bahkan menurut media oposisi Suriah dan Barat, Iran menerjungkan langsung garda revolusinya untuk membantu rezim berkuasa di Suriah menghadapi dan menekan gelombang demonstrasi tersebut. Hingga terpaksa Barat dan Eropa menjatuhkan sanksi ke beberapa tokoh Garda Revolusi Iran yang dianggap terlibat dalam kebrutalan tersebut.

Dari sini kita lihat, bahwa sikap Iran ini yang mendukung Rezim Asad berbeda dengan prinsip-prinsip revolusi yang didengunkannnya sejak tahun 1979, prinsip-prinsip revolusi yang meneriakkan pembelaan terhadap orang-orang lemah, dan melawan kekuatan diktator dan kesombongan. Apakah Iran telah menghianati prinsip revolusinya?

Jawaban simpel atas langkah yang ditempuh Iran tersebut, bahwa apa yang terjadi saat ini di Suriah adalah konspirasi. Konspirasi Barat dan Israel terhadap Suriah begitu juga Iran, dan bahwa rezim Suriah bukanlah diktator tapi memiliki keinginan melakukan perbaikan, dan orang-orang yang bergerak di Suriah bukalah orang-orang lemah, oleh karenanya tak pantas dibantu. Dan sebaliknya mendukung rezim Suriah, inilah yang benar dalam pandangan Iran.

Lebih dari itu Suriah secara geo-politik dan geografi adalah timbangan kokuatan internasional dan regional, dalam menghadapi dan memerangi Israel, oleh karena itu membiarkan Suriah-menurut pandangan Iran- Adalah pengabaian prinsip-prinsip Revolusi.

Dan yang paling mengkwatirkan Iran atas perkembangan Suriah yaitu setiap kordinasi internasional atau regional akan mengesampingkan Iran, pengecualian ini berdasar bahwa Iran tak memiliki hubungan apa pun dengan oposisi Suriah. Begitu juga sikapnya selama 5 bulan pertama, tak akan mendorong kelompok opisisi Suriah untuk membangun hubungan dengan Iran.

Usaha untuk memboikot Iran dalam kancah Internasional, dengan isu “konspirasi” usaha pembunuhan terhadap Dubes Arab Saudi di Amerika Serikat, Adil Al-Jubair yang ditenggarai oleh Washington, Taheran berada di balik “konspirasi” tersebut, semakin menyempitkan langkah Iran dalam dunia internasional, termasuk hubungan strategisnya dengan rezim Basyar Asad. Dalam kondisi yang terdesak, jelas Iran tidak mau rugi di opini umum internasional, apalagi di mata Arab, maka kemungkinan Iran, akan melepas sekutu strateginya Basyar Asad tak bisa dihindarkan, mengingat bahwa Iran bergerak dengan kepentingannya dan bukan dengan prinsip revolusinya, yang akan senantiasa mencari jaminan politik dan stabilitas negerinya.

Kepentingan Strategis Israel di Suriah
Memasuki tahun 2011, Israel dikagetkan dengan kenyataan-kenyataan pahit yang tidak bisa diperkirakannya, juga menunjukkan kegagalan lembaga intelejennya dalam memantau perkembangan dunia Arab. Mulai dari meletusnya revolusi Tunisia, walau bagi Israel, Tunisia tak terlalu berpengaruh bagi kepentingan strategis Israel, baik karena Tunisia dianggap sebagai negara kecil, juga karena letak geografis yang berjauhan dengan Israel, hingga perubahan yang terjadi di Tunisia tidak terlalu menyentuh strategis Israel.

Namun berbeda dengan Mesir dan Suriah, dua negara ini adalah benteng pertahanan Israel di Timur Tengah, jika dua negara ini lepas kontrol, maka secara otomatis akan terjadi perubahan fundamental di kawasan yang mengancam pentingan Barat dan Israel  di Timur Tengah. Awalnya aksi protes yang meledak di Tunisia, dianggap oleh Barat dan Israel sebagai letupan biasa yang tidak akan perbengaruh pada kepentingan keduanya, namun ternyata di luar perkiraan, angin revolusi terus berhembus hingga ke Mesir yang notabene adalah sekutu terbesar Israel di kawasan. Kegagalan pertama Israel karena informasi intelejen Israel gagal membaca angin perubahan di kawasan, angin revolusi ternyata terus berhembus ke negara rejim sekutu strategis Israel, Mesir. Kegagalan prediksi intelejen Israel ini, diungkapkan sendiri oleh ketua komite Intelejen Israel, Dan Maridor.

Pil pahit harus ditelan oleh Zionis Israel, karena gagal mempertahankan rejim Mubarak, Israel pun harus mengalokasikan dana 200 juta dollar untuk alokasi belanja pertahanan dan persenjataan mengantisipasi perubahan fundamental di kawasan yang tidak berpihak pada kepentingan Israel, belum lagi kerugian yang harus diderita Israel sampa 200 juta dollar per minggu akibat menurunnya tingkat perdagangan Israel yang 20% perdagangannya melewati Terusan Suez. Begitu juga dengan terhentinya kebutuhan gaz Israel yang diekspor dari Mesir ke Israel, yang menutupi 40% kebutuhan gaz Israel. Belum lagi ancaman dibekukannya perjanjian Cam David. Dan Israel siap membayar mahal demi kelangsungan perjanjian Cam David dengan Mesir.

Suriah dalam perspektif Israel tak kalah strategisnya dengan Mesir, baik secara geografi maupun geo-politik, sebagaimana Israel telah mengerahkan segala usahanya untuk menggagalkan revolusi Mesir 25 Januari serta mempertahankan rezim Mubarak, begitupun revolusi di Suriah, dengan pertimbangan strategis keamanan nasional dan masa depan Israel, maka tidak ada pilihan bagi Israel selain mempertahankan rezim berkuasa saat ini di Suriah. Secara singkat, setidaknnya ada bebarapa alasan strategis Isreal ingin mempertahankan rezim Basyar Asad di Suriah. Alasan strategis tersebut sebagai berikut:

1. Batas antara Israel dan Suriah kini ini, adalah batas yang paling tenang dibandingkan dengan batas-batas lain bersama negara-negara Arab lainnya.

2. Rezim Suriah merupakan model rezim Arab yang Israel secara jelas berhasil melakukan pencegahan pembalasan kepada Israel, sebagai bukti, rezim ini tidak berusaha membalas provokasi Israel saat membombardir pasilitas riset nuklir Suriah di Utara Suriah akhir tahun 2006, juga tindakan Mossad yang membunuh sejumlah petinggi program nuklir Suriah, serta membunuh komandan bersenjata Hizbullah Imad Mughniyeh.

3. Jatuhnya Rezim saat ini berarti bahaya naiknya kelompok Islam, lebih-lebih Kelompok Ikhwanul Muslimin, yang dianggap sebagai kelompok oposisi yang paling teroganisir, dan ini akan merubah skenario strategis Israel di Kawasan, keberhasilan revolusi Mesir sudah cukup membuat Israel rugi secara ekonomi dan keteteran harus memformat ulang kebijakan-kebijakannya di Timur Tengah, dan jika revolusi Suriah sukses ini akan semakin mengisolasi dan menekan Israel di kawasan.

4. Keruntuhan rezim akan menyebabkan hilangnya stabilitas keamanan di kawasan, yang bisa jadi akan mengantar pada perang  yang tidak dihendaki oleh Israel. Sebagaimana terjadi tahun 1967, salah satu penyebab terjadinya perang karena tidak ada stabilitas di Suriah.

5. Jika rezim jatuh, maka akan ada bahaya yang mengancam yaitu kemampuan kelompok-kelompok "yang tidak bertanggung jawab" menguasai gudang bersenjata militer Suriah, lebih khusus gudang roket Suriah, yang bisa mencapai seluruh kota Israel dan yang menambah kekhawatiran Isreal, bahwa banyak dari roket-roket tersebut dilengkapi dengan hulu ledak kimia.

8. Walau tercipta tatanan demokrasi di bawah pemerintahan Asad, hal ini akan menambah tekanan dunia internasional kepada Israel untuk meninggalkan dataran Golan, sebagai bagian dari penyelesaian yang komprehensif dari perang.

9. Kekhawatiran jika rezim asad jatuh akan berakibat negatif bagi stabilitas rezim pemerintahan di Yordania yang dianggap sebagai sekutu Israel paling dipercaya di kawasan, kajatuhannya akan mengancam eksisetensi Isreal. karena peran Yordania dalam menjaga perbatasan yang memisahkan antara Yordania dari Palestina, yang untuk menjaganya butuh dana besar untuk mengerahkan pasukan infanteri Israel untuk melaksanakan tugas ini, saat tidak ada kerjasama dengan Yordania.

Inilah alasan strategis Israel untuk mempertahankan rezim Basyar Asad, hingga bulan Mei lalu Netanyaho terpaksa harus merengek ke kakak sulungnya Obama dengan menggunakan organisasi lobi terbesar Israel di Amerika AIPEC.

Kenapa Tak Ada Intervensi Asing di Suriah?
Sebelum membahas lebih jauh kemungkinan-kemungkinan intervensi luar di Suriah, mari kita menyepakati bahwa pertama, ketika Eropa mengajukan proyek resolusi kepada Dewan Keamanan Internasional tanggal 4/10/2011, dengan tujuan menjatuhkan sanksi kepada rezim Suriah, telah diketahui bahwa Rusia dan Cina akan menggunakan hak vetonya, dan bahwa resolusi ini tak akan berhasil.

Kedua bahwa terbukti AS dan Eropa memiliki cara-cara untuk menekan dan membujuk Rusia dan Cina yang dapat mendorong keduanya untuk menyetujui resolusi ini, jika memang ada keinginan untuk itu.

Apa yang terjadi pada kondisi Libya, misalnya, buktinya diperoleh resolusi dari Dewan Keamanan Internasional, tak hanya tanda tangan sanksi atas rezim Khadafi, tetapi membolehkan intervensi militer melalui larangan penerbangan pasukan Khadafi dan menyerangnya dengan pesawat di setiap tempat. Tak diragukan bahwa intervensi ini, memiliki pengaruh langsung atas keberhasilan revolusi Libya, dan menggulingkan rezim Khadafi, ini kemudian yang menggelitik untuk meneliti sebab-sebab yang menghalangi penggunaan cara yang sama atau sedikit lebih ringan pada kondisi Suriah.

Pertama-tama bahwa rezim Suriah tak kalah jeleknya dengan Rezim Libya, dan Basyar Asad tak kalah sadis dan brutalnya dengan Khadafi, yang diketahui sampai kini bahwa rezim Suriah telah membunuh rakyatnya sendiri sekitar 3.329 menurut data HAM Suriah sampai tanggal 19/10/2011, menyerbu rumah-rumah, kota dan desa-desa, dan menangkap lebih dari sepuluh ribu atau bahkan puluhan ribu, di antara mereka ada yang mati di bawah penyikasaan, atau tertembak di ruang-ruang penjara. Bahkan kadang sampai pada penculikan istri-istri, wanita dan anak-anak para pejuang yang melarikan diri.

Kita juga telah menyaksikan tentara Suriah telah digunakan sejak awal untuk menekan para demonstran, dan bahwa rezim siap untuk membunuh 90% dari rakyat Suriah demi mempertahankan kekuasaan, kemudian mereka menyerang kota-kota, kampung dan lorong-lorong dan orang-orang yang membelok dari militer dengan pesawat tempur, tank-tank dan memutus jalur laut.

Jadi apa yang ditunggu oleh masyarakat internasional agar bergerak demi rakyat Suriah yang telah dibantai? Apakah karena minyak Libya misalnya yang menggoda Barat datang ke Libya? Tak dapat diyakini, karena Khadafi sendiri siap untuk memberi minyak, emas dan segala sesuatu kepada Barat dan Amerika dengan balasan, asal Khadafi tetap berkuasa. Atau apakah karena pergerakan Arab yang lebih besar pada kondisi Libya sebagai salah satu sebab; dimana Liga Negara Arab meminta intervensi Dewan Keamanan di Libya. Dan negara-negara Arab telah mengeluarkan dana yang banyak demi usaha ini? Ini juga tak dapat diyakini, karena pergerakan Arab telah diberi lampu hijau oleh Barat dan atas kordinasi dengan kekuatan intenasional.

Apakah kepentingan Rusia dan Cina di Suriah lebih besar dari Libya misalnya, di mana dua negara tersebut menolak menekan Suriah dan sebaliknya di Libya? Boleh jadi yang benar malah sebaliknya.

Kelanjutan Basyar Asad adalah kebutuhan Amerika dan Zionis, dan demi menjaga keamanan Israel. Jika Basyar Asad dapat digulingkan dan rejimnya, dan rakyat Suriah mengambil alih pemerintahan atau menjadi pengambil keputusan politik, maka cepat atau lambat akan menghadapi Israel untuk membebaskan Palestina bagaimana pun bentuknya, dan rakyat Suriah tak akan diam melihat Israel menguasai dataran Golan, ini yang menurut hemat penulis penyebab dari sikap ragu-ragu Barat dan AS hingga kini. Dengan berakhirnya tugas dan operasi pasukan Nato di Libya, skenario apa pun bisa terjadi di Suriah, apakah Nato akan menggunakan berbagai alasan untuk mendapatkan legitimasi dari Dewan Keamanan PBB dan dunia internasional, membenarkan tindakannya bisa masuk mengintervensi dan menggulingkan Basyar Asad, namun satu yang pasti bahwa kebijakan apapun yang diambil oleh Nato atau Amerika semua itu tidak keluar dari kerangka kepentingan Israel di kawasan Timur Tengah.

Walau demikian konspirasi yang dihadapi rakyat Suriah dalam mendapatkan hak dan kebebasannya, satu hal yang menjadi aksioma dalam perjuangan bahwa perjuangan menuntut kebulatan tekad yang tidak dicampuri kelemahan, keyakinan dengan kemengan dan pengorbanan mulia yang tidak dihinggapi kekikiran dalam mewujudkan cita dan asa, dan itulah yang sedang ditempuh oleh rakyat Suriah saat ini dengan keyakinan bahwa telah tiba masanya segala rezim korup dan tirani tumbang, sebuah kepastian. Wallahu A'lam. (Anas)
http://www.islamicgeo.com