Pemuda-pemuda itu sedang pada puncak
pekikannya menuntut persamaan hak, persamaan dengan pemuda-pemuda di Negara
tetangganya, Tunisia, Mesir, Libya dan Yaman, mereka ingin menghirup nafas
demokrasi, lepas dari belenggu kekangan tirani.
Pertarungan gagah, jarang
tandingannya dalam sejarah umat manusia, bahkan mungkin juga satu-satunya
perang-damai, laki, perempuan dan anak, semuanya keluar maju meneriakkan
kebebasan mereka yang dirampas oleh penguasa diktator. Mereka bersedia
mengorbankan hartanya yang paling berharga, jiwanya, nyawanya, untuk hanya tak
tunduk pada kedzaliman dan tangan besi diktator.
Rakyat Suriah telah bertempur selama
kurang lebih 235 hari, sejak tanggal 15 Maret hingga detik ini mereka
berhadapan dengan moncong senjata api dan tank-tank, mereka juga belum jatuh
mempertahankan kebebasan, kehormatan, dan keadilan mereka. Ya mereka hanya
bersenjatakan suara-suara mereka yang menjadi peluru menembus dan menumbangkan
dinding ketakutan, ketakutan mereka sendiri. Dan bukan ketakutan pada
tangan-tangan kotor berlumuran darah itu.
Dua ratus lima puluhan anak-anak
telah menyumbangkan nyawa mereka yang masih belia, untuk dikenang oleh jutaan
genarasi pelanjutnya. Mereka telah pintar mengukir kegemilangan dengan darah.
Pelajaran bagi tiap bangsa pejuang.
Lebih mengherankan di balik tragedi
kemanusiaan ini, lembaga militer yang sejatinya melindungi Negara dan penduduk
sipil dari berbagai ancaman yang datang dari luar, ternyata malah menjadi
pembela pembunuh rakyatnya dan membunuh rakyatnya sendiri dengan tank-tank dan
senjata mereka. Kebrutalan dan kekejaman Basyar Asad ini juga ditopang oleh
angkatan bersenjata dan partai berkuasa di Suriah. Ini yang pertama yang
menjadi titik tolak perhatian kita, sebelum membahas tarik ulur kepentingan dunia
internasional di balik keterlambatan revolusi Suriah membuahkan hasil,
khususnya kepentingan strategis Barat Amerika, Israel dan Iran.
Lembaga-lembaga Diktator
Partai Sosialis Baats
dan Angkatan Bersenjata Suriah
Hizbul Baats Al-Isytiraki atau Partai Sosialis Baats adalah partai yang telah
berkuasa kurang lebih 48 tahun sejak tahun 1963, kepemimpinan Partai Baats bisa
dibagi menjadi dua fase; fase antara tahun 1963 sampai 1970, yaitu fase
berkuasanya Dewan Militer Suriah melalui Partai Baats. Fase kedua; fase dari
tahun 1970 sampai kini, yaitu fase berkuasanya Hafez Asad dan anaknya Basyar
Asad.
Angkatan Bersenjata Suriah
Sejak pertama meledaknya Revolusi
Suriah, Angkatan Bersenjata Suriah telah diterjungkan ke kampung-kampung dan
kota-kota Suriah. Dengan segala kebrutalannya, militer Suriah mempertontongkan
kehebatannya menembaki para demonstran damai, dengan segala peralatan
perangnya, militer Suriah menyerbu dan menguasai kota-kota dan kampung-kampung
Suriah. Senjata-senjata yang selayaknya diarahkan ke wajah Zionis Israel yang
menguasai dataran tinggi Golan itu, kini moncong senjata itu diarahkan ke dada
rakyatnya sendiri. Genangan darah basahi bumi Syam, tangisan anak-anak
kehilangan orang tua, tubuh-tubuh bergelimpangan di jalan-jalan kota dan kampung
Suriah, rumah-rumah penduduk sipil yang hancur, masjid-masjid dan menaranya
yang diruntuhkan. Semuanya menjadi pemandangan sehari-hari sejak awal
meledaknya aksi damai rakyat Suriah hingga saat ini.
Memori tragedi kemanusiaan rakyat
Suriah kembali terulang, tragedi kemanusiaan 29 tahun silam yang merengguk
sekitar tiga puluh ribu nyawa rakyat Suriah di Humat yang dilakukan oleh rezim
berkuasa Hafez Asad, kini tragedy kemanusiaan itu kembali dipertontongkan
dan dilanjutkan oleh anaknya, Basyar Asad, benarlah pepatah buah jatuh tak jauh
dari pohonnya. Anak dan bapak sama saja brutalnya, sama-sama berjiwa singa,
berbadan manusia, memangsa rakyat sendiri.
Seorang kolumnis Suriah Dr. Abdullah
Al-Hariry meledakkan kemarahannya dalam tulisannya dengan mengutuk lembaga
militer yang dianggapnya telah menghianati rakyat Suriah, menghianati bangsa
dan negaranya, bahkan menghianati diri sendiri, beliau menyebutkan bukti-bukti
penghianatan militer Suriah. Kita sebutkan bebarap penghianatan yang disebutkan
oleh Dr. Abdullah, sebagai berikut;
1. Penghianatan pertama adalah
penghianatan kepada Palestina dan para mujahid yang ada di Palestina, dengan
mencegah bantuan militer yang dikirim dari komite Arab, dan mengingkari
bantuan-bantuan tersebut sampai kepada mereka, bantuan-bantuan tersebut berupa
depot amunisi, dan ketika Abdul Qadir Al-Husaini memimpin perang Al-Quds dan
menguasai benten Qastel, namun hari berikutnya kalah, karena kehabisan amunisi
dan peralatan perang.
2. Penghancuran perkemahan Palestina
di Libanon (Tel Azur, Al-Badawy, Al-Barid dan Al-Miyah-miyah, dan mengalirkan
darah Palestina dan darah Libanon.
3. Menghancurkan kota Humat tahun
1982 dan membunuh hampir 30 ribu orang.
4. Dan hari ini, mereka tak
menyisakan kota dan menara masjid di Suriah, kecuali dikuasainya dan dibomnya
dan mengusir penduduknya seperti yang baru baru terjadi Raston
5. Lebih dari itu, mereka mengangkat
motto-motto ateis, dan keluar dari aqidah umat, seperti: “Aku beriman kepada
Baats sebagai Tuhan tiada sekutu bagi-nya, dan Arab sebagai agama tiada
duanya”. Dan mereka menulis di dinding-dinding masjid (jatuhlah Tuhanmu dan
Basyar tak jatuh), (Wahai Allah biarlah-biarlah, Basyar menggantikan
posisi-Mu).
Begitulah kondisi militer yang tak
memiliki agama, tak berakhlak, tak memiliki perasaan, tak memiliki hati nurani!
Tentara yang tak memiliki segala kehormatan, kemuliaan dan kepahlawanan!
Tentara yang membunuh anak-anak kecil dan tak selamat darinya orang-orang tua
dan bapak-bapak, bahkan tak selamat dari wanita-wanita, pun dibunuhnya. Militer
yang hanya tahu sasaran pelurunya kepada rakyatnya yang muslim dan
menara-menara masjid, dan menjaga Israel dan antek-anteknya.
Perbandingan Singkat Skenario Libya
dan Suriah
Mayoritas jabatan-jabatan penting di
tubuh angkatan bersenjata Suriah semuanya diduduki oleh kelompok Alawiyin,
kelompok minoritas yang berpaham Syiah dan menuhankan Ali r.a. dan Asad sendiri
berafiliasi ke kelompok ini, ini pula yang menjadi rahasia di balik dukungan
militer Suriah ke Basyar Asad. Hingga hampir boleh dikata bahwa tidak ada
petinggi militer yang membelok atau menantang kebijakan Basyar Asad. Sementara
untuk tingkat prajurit adalah mayoritas Sunni, prajurit kecil inilah yang
kemudian menyatakan diri bergabung ke barisan revolusi rakyat Suriah dan
mendirikan perkumpulan yang bernama Tentara Suriah Yang Bebas [Jaisyu As-Suri
Al-Hurr]. Inilah yang membedakan scenario di Libya dengan scenario di Suriah,
di Libya, angkatan bersenjata hampir secara keseluruhan membangkan dari
Khaddafi, termasuk para petinggi militer, bahkan Abdurrahman Yunus yang menjadi
pemimpin militer revolusi Libya termasuk salah satu teman seperjuangan Khaddafi
di awal revolusi tahun 1969, revolusi yang berhasil mengantarkan Khaddafi ke
singgasana kekuasaan. Kalau di Libya yang membangkan adalah petinggi
militer dan prajurit di bawahnya beserta peralatan perangnya, maka di Suriah,
mereka yang membangkan adalah prajurit-prajuri kelas teri dengan senjata
seadanya.
Inilah juga yang menjadi alasan para
revolusioner Suriah sejak awal telah menempuh jalur damai (silmiyah),
dan kecil kemungkinan secara keseluruhan atau menjadi kesepakatan revolusi
Suriah untuk menempuh jalur bersenjata. Pertempuran- saling tembak yang saat
ini terjadi di Suriah adalah perlawanan-perlawanan kecil dari militer yang
bergabung dalam revolusi, mereka mempertahankan diri dan melindungi rakyat
sipil. Karena peralatannya yang terbatas serta jumlah persenil yang terbatas,
maka tidak mungkin scenario Libya terjadi di Suriah, kecuali setelah operasi Nato
di Libya selesai kemudian mengkonsentrasikan diri untuk kembali mencari mangsa
dan menduduki Negara lain, dengan berbagai alasan yang memungkinkannya untuk
bisa masuk mengintervensi Suriah. Tapi ini juga kecil kemungkinan [hal ini akan
kita bahas di bagian terakhir, kenapa tidak ada intervensi asing di Suriah],
karena mayoritas rakyat Suriah sendiri menolak dengan keras adanya intervensi
militer asing ke negaranya, walau keberhasilan revolusi Libya menumbangkan
dictator Khadafi dengan revolusi bersenjata, namun ini juga meminta tumbal yang
terlalu mahal, jumlah korban tewas di Libya selama terjadinya revolusi,
sekurang-kurang menurut Musthafa Abdul Jalil beberapa bulan lalu sekitar 25.000
orang, dan ini yang tidak diinginkan oleh revolusi Suriah.
Fase kedua; Hafez Asad dan Basyar
Asad
Tahun 1963 Hafez Asad mulai berkuasa
hingga tahun 2000, menjelang Hafez Asad meninggal, dipanggillah sang dokter
yang sedang belajar di Perancis untuk kembali ke Suriah menggantikan bapaknya,
undang-undang pun harus dirombak untuk meloloskan Basyar Asad yang belum cukup
umur untuk menduduki jabatan presiden. Dengan membohongi rakyat dan negaranya
dengan mempermainkan undang-undang, Basyar Asad pun naik ke kursi
kepresidenan sejak tahun 2001.
Kepemimpinan bapak dan anak ini
banyak disifati oleh para pengamat, dengan karakteristik kepimimpinan diktator,
korup, rasisme, anarkis, dan terkenal memusuhi agama.
Kekerasan adalah sifat dasar
kepemimpinan Partai Baats di masa Hafez dan Basyar kepada masyarakat Suriah.
kepada berbagai kelompok; pada tahun 1963 orang Nasyiriyin, tahun 1964
kekerasan dialami oleh orang-orang Islam, tahun 1965 pemboman masjid dan
menguasai masjid di Homs dan Damaskus, tahun 1966 kekerasan dialami oleh
kelompok Druze, kemudian penghancuran Humat tahun 1982 yang menelan korban
30.000 rakyat Suriah, dan kini mereka kembali mengulang kekerasan, penindasan
kepada rakyat Suriah.
Partai Baats sejak lima puluh tahun
lalu bukan hanya tak beragama tapi juga melakukan kekerasan kepada agama dan
kaum beragama, dan berusaha mencabut agama dari hidup rakyat Suriah, dan
menganggapnya sebagai mitos, ilusi dan keburukan. Bahkan menjadikan beberapa
syiar dan ucapan-ucapan yang memusuhi agama dengan cara yang sangat jelas,
seperti: “Aku beriman kepada Baats sebagai Tuhan tiada sekutu baginya, dan Arab
sebagai agama tiada duanya”.
Partai Baats juga mempraktekkan
prilaku rasisme kepada suku suku lain, utama suku kurdi, menekan kurdi, dan
mengusirnya dari kampung-kampung mereka. dan terakhir terbunuhnya salah serong
tokoh oposisi Kurdi Massal Tammo [8/10/2011].
Hubungan Strategis Iran dan Suriah
Hubungan strategis dua Negara ini
telah terjalin lama. Sejak keberhasilan revolusi Iran 1979, dengan
simbol-simbol revolusinya yang menjadi momok ketakutan Barat dan Amerika, di
mana Iran menganggap Amerika Serikat sebagai syetan besar (As-syaithan
Al-Akbar) dan menganggap Zionis Israel sebagai kelenjer kanker yang mesti
dimusnahkan dan dilenyapkan dari peta dunia, satu sisi. Di sisi lain Suriah
melihat peran AS mulai mulai menghegomoni di kawasan lebih khusus di Libanon,
dengan keberadaan militer AS, ini yang dianggap berbahaya oleh Suriah. Hingga
bahasa-bahasa yang digunakan oleh Suriah terhadap AS tidak jauh bedanya dengan
Iran, bahasa-bahasa anti Amerika dan permusuhan terhadap Barat. Iran juga
melihat Suriah sangat strategis di kawasan Timur Tengah, baik secara geografis,
juga secara militer Suriah cukup diperhitungkan.
Penyebab Dukungan Iran
Kepada Damaskus
Kebrutalan militer dan rezim Suriah
menghadapi gelombang protes rakyatnya yang menuntut kebebasan, ternyata
disikapi beda oleh Iran. Iran tanpa malu mendukung aksi kebrutalan tersebut,
bahkan menurut media oposisi Suriah dan Barat, Iran menerjungkan langsung garda
revolusinya untuk membantu rezim berkuasa di Suriah menghadapi dan menekan
gelombang demonstrasi tersebut. Hingga terpaksa Barat dan Eropa menjatuhkan
sanksi ke beberapa tokoh Garda Revolusi Iran yang dianggap terlibat dalam
kebrutalan tersebut.
Dari sini kita lihat, bahwa sikap
Iran ini yang mendukung Rezim Asad berbeda dengan prinsip-prinsip revolusi yang
didengunkannnya sejak tahun 1979, prinsip-prinsip revolusi yang meneriakkan
pembelaan terhadap orang-orang lemah, dan melawan kekuatan diktator dan
kesombongan. Apakah Iran telah menghianati prinsip revolusinya?
Jawaban simpel atas langkah yang
ditempuh Iran tersebut, bahwa apa yang terjadi saat ini di Suriah adalah
konspirasi. Konspirasi Barat dan Israel terhadap Suriah begitu juga Iran, dan
bahwa rezim Suriah bukanlah diktator tapi memiliki keinginan melakukan
perbaikan, dan orang-orang yang bergerak di Suriah bukalah orang-orang lemah,
oleh karenanya tak pantas dibantu. Dan sebaliknya mendukung rezim Suriah,
inilah yang benar dalam pandangan Iran.
Lebih dari itu Suriah secara
geo-politik dan geografi adalah timbangan kokuatan internasional dan regional,
dalam menghadapi dan memerangi Israel, oleh karena itu membiarkan
Suriah-menurut pandangan Iran- Adalah pengabaian prinsip-prinsip Revolusi.
Dan yang paling mengkwatirkan Iran
atas perkembangan Suriah yaitu setiap kordinasi internasional atau regional
akan mengesampingkan Iran, pengecualian ini berdasar bahwa Iran tak memiliki
hubungan apa pun dengan oposisi Suriah. Begitu juga sikapnya selama 5 bulan pertama,
tak akan mendorong kelompok opisisi Suriah untuk membangun hubungan dengan
Iran.
Usaha untuk memboikot Iran dalam
kancah Internasional, dengan isu “konspirasi” usaha pembunuhan terhadap Dubes
Arab Saudi di Amerika Serikat, Adil Al-Jubair yang ditenggarai oleh Washington,
Taheran berada di balik “konspirasi” tersebut, semakin menyempitkan langkah
Iran dalam dunia internasional, termasuk hubungan strategisnya dengan rezim
Basyar Asad. Dalam kondisi yang terdesak, jelas Iran tidak mau rugi di opini umum
internasional, apalagi di mata Arab, maka kemungkinan Iran, akan melepas sekutu
strateginya Basyar Asad tak bisa dihindarkan, mengingat bahwa Iran bergerak
dengan kepentingannya dan bukan dengan prinsip revolusinya, yang akan
senantiasa mencari jaminan politik dan stabilitas negerinya.
Kepentingan Strategis Israel di
Suriah
Memasuki tahun 2011, Israel
dikagetkan dengan kenyataan-kenyataan pahit yang tidak bisa diperkirakannya,
juga menunjukkan kegagalan lembaga intelejennya dalam memantau perkembangan dunia
Arab. Mulai dari meletusnya revolusi Tunisia, walau bagi Israel, Tunisia tak
terlalu berpengaruh bagi kepentingan strategis Israel, baik karena Tunisia
dianggap sebagai negara kecil, juga karena letak geografis yang berjauhan
dengan Israel, hingga perubahan yang terjadi di Tunisia tidak terlalu menyentuh
strategis Israel.
Namun berbeda dengan Mesir dan
Suriah, dua negara ini adalah benteng pertahanan Israel di Timur Tengah, jika
dua negara ini lepas kontrol, maka secara otomatis akan terjadi perubahan
fundamental di kawasan yang mengancam pentingan Barat dan Israel di Timur
Tengah. Awalnya aksi protes yang meledak di Tunisia, dianggap oleh Barat dan
Israel sebagai letupan biasa yang tidak akan perbengaruh pada kepentingan
keduanya, namun ternyata di luar perkiraan, angin revolusi terus berhembus
hingga ke Mesir yang notabene adalah sekutu terbesar Israel di kawasan.
Kegagalan pertama Israel karena informasi intelejen Israel gagal membaca angin
perubahan di kawasan, angin revolusi ternyata terus berhembus ke negara rejim
sekutu strategis Israel, Mesir. Kegagalan prediksi intelejen Israel ini,
diungkapkan sendiri oleh ketua komite Intelejen Israel, Dan Maridor.
Pil pahit harus ditelan oleh Zionis
Israel, karena gagal mempertahankan rejim Mubarak, Israel pun harus
mengalokasikan dana 200 juta dollar untuk alokasi belanja pertahanan dan
persenjataan mengantisipasi perubahan fundamental di kawasan yang tidak
berpihak pada kepentingan Israel, belum lagi kerugian yang harus diderita
Israel sampa 200 juta dollar per minggu akibat menurunnya tingkat perdagangan
Israel yang 20% perdagangannya melewati Terusan Suez. Begitu juga dengan
terhentinya kebutuhan gaz Israel yang diekspor dari Mesir ke Israel, yang
menutupi 40% kebutuhan gaz Israel. Belum lagi ancaman dibekukannya perjanjian
Cam David. Dan Israel siap membayar mahal demi kelangsungan perjanjian Cam
David dengan Mesir.
Suriah dalam perspektif Israel tak
kalah strategisnya dengan Mesir, baik secara geografi maupun geo-politik,
sebagaimana Israel telah mengerahkan segala usahanya untuk menggagalkan
revolusi Mesir 25 Januari serta mempertahankan rezim Mubarak, begitupun
revolusi di Suriah, dengan pertimbangan strategis keamanan nasional dan masa
depan Israel, maka tidak ada pilihan bagi Israel selain mempertahankan rezim
berkuasa saat ini di Suriah. Secara singkat, setidaknnya ada bebarapa alasan
strategis Isreal ingin mempertahankan rezim Basyar Asad di Suriah. Alasan
strategis tersebut sebagai berikut:
1. Batas antara Israel dan Suriah
kini ini, adalah batas yang paling tenang dibandingkan dengan batas-batas lain
bersama negara-negara Arab lainnya.
2. Rezim Suriah merupakan model
rezim Arab yang Israel secara jelas berhasil melakukan pencegahan pembalasan
kepada Israel, sebagai bukti, rezim ini tidak berusaha membalas provokasi
Israel saat membombardir pasilitas riset nuklir Suriah di Utara Suriah akhir
tahun 2006, juga tindakan Mossad yang membunuh sejumlah petinggi program nuklir
Suriah, serta membunuh komandan bersenjata Hizbullah Imad Mughniyeh.
3. Jatuhnya Rezim saat ini berarti
bahaya naiknya kelompok Islam, lebih-lebih Kelompok Ikhwanul Muslimin, yang
dianggap sebagai kelompok oposisi yang paling teroganisir, dan ini akan merubah
skenario strategis Israel di Kawasan, keberhasilan revolusi Mesir sudah cukup
membuat Israel rugi secara ekonomi dan keteteran harus memformat ulang
kebijakan-kebijakannya di Timur Tengah, dan jika revolusi Suriah sukses ini
akan semakin mengisolasi dan menekan Israel di kawasan.
4. Keruntuhan rezim akan menyebabkan
hilangnya stabilitas keamanan di kawasan, yang bisa jadi akan mengantar pada
perang yang tidak dihendaki oleh Israel. Sebagaimana terjadi tahun 1967,
salah satu penyebab terjadinya perang karena tidak ada stabilitas di Suriah.
5. Jika rezim jatuh, maka akan ada
bahaya yang mengancam yaitu kemampuan kelompok-kelompok "yang tidak
bertanggung jawab" menguasai gudang bersenjata militer Suriah, lebih
khusus gudang roket Suriah, yang bisa mencapai seluruh kota Israel dan yang
menambah kekhawatiran Isreal, bahwa banyak dari roket-roket tersebut dilengkapi
dengan hulu ledak kimia.
8. Walau tercipta tatanan demokrasi
di bawah pemerintahan Asad, hal ini akan menambah tekanan dunia internasional
kepada Israel untuk meninggalkan dataran Golan, sebagai bagian dari
penyelesaian yang komprehensif dari perang.
9. Kekhawatiran jika rezim asad
jatuh akan berakibat negatif bagi stabilitas rezim pemerintahan di Yordania
yang dianggap sebagai sekutu Israel paling dipercaya di kawasan, kajatuhannya
akan mengancam eksisetensi Isreal. karena peran Yordania dalam menjaga
perbatasan yang memisahkan antara Yordania dari Palestina, yang untuk
menjaganya butuh dana besar untuk mengerahkan pasukan infanteri Israel untuk
melaksanakan tugas ini, saat tidak ada kerjasama dengan Yordania.
Inilah alasan strategis Israel untuk
mempertahankan rezim Basyar Asad, hingga bulan Mei lalu Netanyaho terpaksa
harus merengek ke kakak sulungnya Obama dengan menggunakan organisasi lobi
terbesar Israel di Amerika AIPEC.
Kenapa Tak Ada
Intervensi Asing di Suriah?
Sebelum membahas lebih jauh
kemungkinan-kemungkinan intervensi luar di Suriah, mari kita menyepakati bahwa
pertama, ketika Eropa mengajukan proyek resolusi kepada Dewan Keamanan
Internasional tanggal 4/10/2011, dengan tujuan menjatuhkan sanksi kepada rezim
Suriah, telah diketahui bahwa Rusia dan Cina akan menggunakan hak vetonya, dan
bahwa resolusi ini tak akan berhasil.
Kedua bahwa terbukti AS dan Eropa
memiliki cara-cara untuk menekan dan membujuk Rusia dan Cina yang dapat
mendorong keduanya untuk menyetujui resolusi ini, jika memang ada keinginan
untuk itu.
Apa yang terjadi pada kondisi Libya,
misalnya, buktinya diperoleh resolusi dari Dewan Keamanan Internasional, tak
hanya tanda tangan sanksi atas rezim Khadafi, tetapi membolehkan intervensi
militer melalui larangan penerbangan pasukan Khadafi dan menyerangnya dengan
pesawat di setiap tempat. Tak diragukan bahwa intervensi ini, memiliki pengaruh
langsung atas keberhasilan revolusi Libya, dan menggulingkan rezim Khadafi, ini
kemudian yang menggelitik untuk meneliti sebab-sebab yang menghalangi
penggunaan cara yang sama atau sedikit lebih ringan pada kondisi Suriah.
Pertama-tama bahwa rezim Suriah tak
kalah jeleknya dengan Rezim Libya, dan Basyar Asad tak kalah sadis dan
brutalnya dengan Khadafi, yang diketahui sampai kini bahwa rezim Suriah telah
membunuh rakyatnya sendiri sekitar 3.329 menurut data HAM Suriah sampai tanggal
19/10/2011, menyerbu rumah-rumah, kota dan desa-desa, dan menangkap lebih dari
sepuluh ribu atau bahkan puluhan ribu, di antara mereka ada yang mati di bawah
penyikasaan, atau tertembak di ruang-ruang penjara. Bahkan kadang sampai pada
penculikan istri-istri, wanita dan anak-anak para pejuang yang melarikan diri.
Kita juga telah menyaksikan tentara
Suriah telah digunakan sejak awal untuk menekan para demonstran, dan bahwa
rezim siap untuk membunuh 90% dari rakyat Suriah demi mempertahankan kekuasaan,
kemudian mereka menyerang kota-kota, kampung dan lorong-lorong dan orang-orang
yang membelok dari militer dengan pesawat tempur, tank-tank dan memutus jalur
laut.
Jadi apa yang ditunggu oleh
masyarakat internasional agar bergerak demi rakyat Suriah yang telah dibantai?
Apakah karena minyak Libya misalnya yang menggoda Barat datang ke Libya? Tak
dapat diyakini, karena Khadafi sendiri siap untuk memberi minyak, emas dan
segala sesuatu kepada Barat dan Amerika dengan balasan, asal Khadafi tetap
berkuasa. Atau apakah karena pergerakan Arab yang lebih besar pada kondisi
Libya sebagai salah satu sebab; dimana Liga Negara Arab meminta intervensi
Dewan Keamanan di Libya. Dan negara-negara Arab telah mengeluarkan dana yang
banyak demi usaha ini? Ini juga tak dapat diyakini, karena pergerakan Arab
telah diberi lampu hijau oleh Barat dan atas kordinasi dengan kekuatan
intenasional.
Apakah kepentingan Rusia dan Cina di
Suriah lebih besar dari Libya misalnya, di mana dua negara tersebut menolak
menekan Suriah dan sebaliknya di Libya? Boleh jadi yang benar malah sebaliknya.
Kelanjutan Basyar Asad adalah
kebutuhan Amerika dan Zionis, dan demi menjaga keamanan Israel. Jika Basyar
Asad dapat digulingkan dan rejimnya, dan rakyat Suriah mengambil alih
pemerintahan atau menjadi pengambil keputusan politik, maka cepat atau lambat
akan menghadapi Israel untuk membebaskan Palestina bagaimana pun bentuknya, dan
rakyat Suriah tak akan diam melihat Israel menguasai dataran Golan, ini yang
menurut hemat penulis penyebab dari sikap ragu-ragu Barat dan AS hingga kini.
Dengan berakhirnya tugas dan operasi pasukan Nato di Libya, skenario apa pun
bisa terjadi di Suriah, apakah Nato akan menggunakan berbagai alasan untuk
mendapatkan legitimasi dari Dewan Keamanan PBB dan dunia internasional,
membenarkan tindakannya bisa masuk mengintervensi dan menggulingkan Basyar Asad,
namun satu yang pasti bahwa kebijakan apapun yang diambil oleh Nato atau
Amerika semua itu tidak keluar dari kerangka kepentingan Israel di kawasan
Timur Tengah.
Walau demikian konspirasi yang
dihadapi rakyat Suriah dalam mendapatkan hak dan kebebasannya, satu hal yang
menjadi aksioma dalam perjuangan bahwa perjuangan menuntut kebulatan tekad yang
tidak dicampuri kelemahan, keyakinan dengan kemengan dan pengorbanan mulia yang
tidak dihinggapi kekikiran dalam mewujudkan cita dan asa, dan itulah yang sedang
ditempuh oleh rakyat Suriah saat ini dengan keyakinan bahwa telah tiba masanya
segala rezim korup dan tirani tumbang, sebuah kepastian. Wallahu A'lam.
(Anas)
http://www.islamicgeo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar